Jenis usaha yang dibidiknya memang agak unik yakni mendaur ulang material kayu jati bekas untuk dijadikan mebel dengan desain lama. Material jati seken itu berasal dari rumah-rumah kuno tradisi Jawa, perabot-perabot perlengkapan rumah tangga bahkan bantalan rel kereta api.
Yang namanya barang bekas, tentu tidak semua kayu jati seken itu masih terlihat mulus. Seperti material jati bekas bantalan rel kereta api misalnya, meski terlihat masih kokoh namun tidak utuh lagi. Atau lemari satu pintu yang sana sini terlihat lubang-lubang bekas di makan rayap. Tapi di tangan Suyanto, material yang sudah tidak mulus itu dibentuk kembali menjadi mebel yang terkesan antik. Justru di sanalah daya tariknya, selain pada kayu jati yang terkenal kekuatannya, juga karena kesan antik dari produk tersebut. "Di kampung saya Ngawi, hampir kebanyakan warganya adalah perajin kayu jati karena material itu mudah didapat. Karenanya saya harus pandai-pandai memilih jenis usaha agar tidak sama. Kebetulan belakangan sedang tren kerajinan daur ulang, maka saya pilih daur ulang kayu jati bekas untuk dijadikan mebel, perlengkapan rumah tangga, juga gazebo atau rumah joglo," tutur Suyanto.
Ternyata usaha yang digelutinya sejak lima tahun lalu ini mendapat respon bagus, khususnya dari konsumen penyuka kayu jati. Mereka tidak masalah kalau kayu jati yang dijadikan produk mabel adalah kayu jati bekas. Mereka juga tidak masalah kalau tampilan produknya tidak kinclong, malah sebaliknya terkesan tua. "Ya, justru kebanyakan konsumen tidak suka warna-warna ngejreng, mereka suka natural. Justru mereka datang ke saya karena desain-desain produknya tradisional. Itu memang saya sengaja, tidak menyentuh desain modern kecuali atas permintaan konsumen. Begitu juga warna, saya tetap pertahankan warna natural, kecuali konsumen menginginkan warna berbeda," tuturnya Suyanto yang mantan petani Ngawi ini. Dan utamanya lagi, tambahnya, harga produk yang ditawarkan relative jauh lebih murah ketimbang membeli mebel jati baru.
Untuk mendapatkan material jati seken, Suyanto rajin berburu rumah-rumah jati tradisi Jawa yang ternyata banyak dijual pemiliknya. Untuk itu Suyanto membelinya secara borongan, proses selanjutnya, ia memisahkan material jati dan bukan jati. "Hanya material jati yang kami manfaatkan kembali, sedang kayu jenis lain tidak. Kami memang khusus produk jati, meski kalau ada konsumen minta dari kayu jenis lain, tetap dilayani. Material rumah yang dipreteli itu, kemudian dibentuk menjadi aneka produk perlengkapan rumah tangga," tuturnya. Ia menyarankan, buat para penggemar jati seken, atau menginginkan rumah jati tradisi Jawa, bisa berburu di kampong-kampung di Pulau Jawa, karena banyak yang menjual. Harganya rumah seken itu relatif murah, begitupun ongkos angkutnya. Kayu jati yang didapat adalah kayu jati tua bukan muda seperti mebel-mebel jati yang banyak dijual sekarang ini. "Perizinan angkutnya pun mudah karena tak perlu izin Dinas Kehutanan," tambahnya.
Salah satu hasil buruan Suyanto adalah lumbung padi yang diperkirakan berusia 100 tahun lebih dari warga Sumber Bening, Ngawi. Lumbung padi ini, diakui pemiliknya, telah bertahan selama empat generasi. "Yang menjual ke saya adalah generasi keempat, usianya sudah 70 tahun," jelasnya. Karena melihat lumbung padi ukuran 2,5 x 3 meter itu ternyata masih kokoh, kayunya pun masih terlihat mulus, Suyanto merasa sayang kalau harus mempereteli material itu. Justru ia mendapat ide untuk memodifikasi menjadi rumah joglo yang menarik. Tak heran ketika rumah joglo itu dipamerkan, mendapat banyak perhatian pengunjung. Sebagian dari mereka memanfaatkan untuk foto-foto. "Memang banyak yang tertarik, malah ada yang bertanya apakah ini rumah tahan gempa. Saya tentu saja tidak berani menjawab, iya, karena kan untuk membuat rumah tahan gempa ada standarnya sendiri. Kalau saya bilang iya, nanti kalau ada gempa lalu, rubuh, bagaimana? Meski saya juga tahu kalau rumah kayu, bamboo, lebih tahan terhadap getaran. Apalagi rumah kayu tradisi penduduk, kan, tidak menggunakan paku sebagai pasak. Lihat ini, joglo ini menggunakan bambu sebagai pasak. Ini memang sudah ‘pakem' dari nenek moyang, kalau pasangan jati adalah bambu. Jangan pakai besi, karena besi akan ‘memakan' kayu," jelasnya panjang lebar.
Cukup banyak yang tertarik membeli joglo dari lumbung padi itu, namun Suyanto belum melepas. "Tawaran terakhir Rp 20 juta, saya kasih harga Rp 30 juta nego," katanya. Menurut Suyanto, pameran yang diikutinya sekarang sangat menggembirakan. Respon pengunjung sangat bagus, hampir sebagian besar produknya telah terjual. Padahal ia datang dengan membawa produk jati daur ulang sebanyak 2 kontainer. Bisa jadi tingginya tingkat keterjualan karena harganya yang ‘miring' . "Dagangan saya habis! Yang tersisa hanya rumah joglo dan dua kursi. Saya juga mendapat buyer-buyer yang berjanji untuk membantu penjualan ekspor," kata Suyanto yang juga giat budidaya tanaman bonsai.
Suyanto terjun ke usaha kerajinan kayu jati bisa jadi selain karena turun temurun, di mana orangtuanya pun pengusaha kerajinan jati, juga karena faktor lingkungan desanya di Ngawi yang hampir sebagian besar adalah pengrajin kayu jati. Hal ini karena material kayu jati berlimpah dan dapat diperoleh secara gratis. "Jadi warga yang ingin jadi pengrajin tak perlu modal membeli material, karena Perhutani memberikan sisa-sisa kayu secara gratis, sebagai gantinya, warga diminta membantu pada musim tanam. Warga juga diperbolehkan mengambil akar-akar jati yang masih tertanam. Buat Perhutani ‘kerja sama' ini menguntungkan karena masyarakat ikut membantu mengangkat sisa-sisa akar jati sehingga tidak menggangu pertumbuhan kayu jati baru," jelasnya.
Kerajinan jati Ngawi telah terkenal dan menjadi salah satu agenda tur. "Banyak wisatawan asing datang. Saya pun awalnya ikut membuat kerajinan kecil-kecilan. Ternyata cukup laku, akhirnya saya beralih ke usaha daur ulang. Nah, bisnis ini ternyata lebih cepat berkembang, mungkin karena belum banyak pemainnya dan harganya pun bersaing," ucapnya. Diakui Suyanto bahwa unsur promosi dan relasi sangat penting bagi pengembangan usahanya. Dan untuk pengrajin bermodal pas-pasan seperti dirinya dan pengrajin lain di kampungnya, hal ini adalah masalah tersendiri. "Harus rajin promosi, pameran, juga menjalin relasi. Masalahnya semuanya terbentur uang, biaya. Kalau pameran di Jakarta misalnya, kan butuh biaya. Teman-teman pengrajin di kampong saya, sudah takut duluan kalau membayangkan biaya tinggi. Padahal bagi yang sudah tahu, sebenarnya tidaklah seperti itu. Kita bisa pakai fasilitas Dinas Perindustrian setempat," kata Suyanto.
Sumber : ciputraentrepreneurship.com
0 komentar :
Posting Komentar