Entrepreneurship dan pendidikan adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Ini terbukti dari berbagai contoh kisah sukses yang kita bisa pelajari dari berbagai belahan dunia. Entrepreneur-entrepreneur sukses umumnya adalah mereka yang mau terus belajar, baik secara formal dan informal. Mereka tak mau hanya berdiam diri dan merasa nyaman dengan pengetahuan, wawasan dan ketrampilan yang sudah dikuasai. Mereka terus memperbarui diri dengan belajar di sekelilingnya.
Tak terkecuali Anton Sudibyo. Pengusaha berpenampilan sangar ini tergolong masih muda tetapi kiprahnya sebagai salah satu sosok penggerak perekonomian di Blora tak diragukan lagi. Pria tamatan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang ini terlahir di Blora dan berhasil menjadi seorang sarjana meski tidak dengan jalan yang mulus. Ia mengaku telah mandiri dengan membiayai pengeluaran semasa kuliah dengan penghasilannya sendiri dari berjualan koran dari satu bus kota ke bus kota lain di Semarang, Jateng.
Jiwa entrepreneurnya semakin terasah dengan membaca berbagai buku. “Novel, dan buku-buku tulisan intelektual Islam merupaka jenis-jenis buku yang saya gemari,” ujarnya. Ia menambahkan hidup manusia tanpa kehadiran buku akan menjadi hampa. “Buku sudah menjadi bagian rutinitas sejak menjadi mahasiswa,” tukasnya.
Bakat kepemimpinan yang diperlukan untuk menjadi entrepreneur juga sudah ia tunjukkan semasa menjadi pelajar. Anton tercatat pernah menjabat sebagai ketuan Departemen Dakwah Gerakan Pemuda Ansor Boyolali. Pengalaman berorganisasi Anton juga tak bisa dianggap remeh. Ia berhasil memimpin Krdais IAIN Walisongo Semarang sebagai Ketua, PAC Ansor Cabang Japah Blora sebagai Ketua, dan APTRI Blora sebagai Sekretaris Jenderal.
Kini ia memang tak lagi seorang aktivis layaknya saat masih menjadi mahasiswa. Anton tertarik untuk mempelajari penanaman tebu di daerah kelahirannya, Blora. Tak banyak orang yang menyukai bidang satu ini, terbukti lebih banyak orang muda yang mencari pekerjaan di kota besar lain di Jawa. Sebelumya ia pernah menjalani pekerjaan di bidang ekspor impor, menjual koran sebagai loper, dan bahkan menjadi anggota dewan perwakilan. Ia menganggap wirausaha adalah jalan menuju kemakmuran yang konkret, berbeda dari politik atau menjadi karyawan bagi orang lain.
Tahun 2008, ia baru mengenal sedikit seluk beluk tebu sebagai sumber penghasilan yang lebih mantap. “Awalnya saya menanam tebu hanya 2 hektar. Banyak yang mencibir karena hasilnya tak seberapa. Kemudian saya bertekad bulat dengan menjual 5 ekor sapi yang saya miliki sebagai modal awal dan mengandalkan pula bantuan dana pemerintah kabupaten dengan jumlah Rp 67 juta,” kenangnya.
Anton dengan tekun berusaha menjalani proses yang rumit dalam penanaman tebu, dari pembenihan hingga panen. Tak tanggung-tanggung, ia berani merogoh kocek pribadi sebanyak Rp 30.000 per hari untuk belajar secara langsung pada petani tebu senior dari kabupaten Pati, Rembang, dan sebagainya.
Ia ingin langsung mempelajari the best practice, sebuah langkah yang juga disarankan oleh Ir. Ciputra dalam belajar entrepreneurship. Dengan belajar dari yang sudah berpengalaman, learning curve akan lebih pendek dan peluang sukses lebih terbuka lebar dari mereka yang belajar otodidak. “Panen pertama dari 2 hektar hanya menghasilkan Rp 25 juta dengan kuantitas tebu 197 ton,” terangnya tentang hasil panen pertamanya.
Namun, tentu saja perjalanannya menjadi entrepreneur tebu pemilik lahan 23 hektar seperti sekarang tak semulus bayangan orang. Ada saat yang suram yang harus Anton lalui.
“Saya pernah menderita kerugian ratusan juta. Untungnya ada pak Selamet dari Rembang yang membimbing dan mengarahkan dengan permodalan untuk penanaman tebu untuk 10 hektar. Tahun 2009 ia juga berhasil menyabet pinjaman dari perusahaan pabrik gula. Anton kembali bangkit dari keterpurukan dengan kerja keras dan doa. Saat merintis usaha tebunya ini ia mengaku banyak mengandalkan tenaga sendiri daripada merekrut pekerja. “Setelah panen kedua, ketiga dan seterusnya, saya bisa bergabung dengan Asosiasi Petani Tebu Republik Indonesia sebagai Sekretaris Jenderal,” kata ayah tiga anak ini. Kini Anton patut berbangga hati karena berhasil menjadi juragan tebu dan menguasai 23 hektar lahan. Sebaran lahan pun mencakup 3 kecamatan di Blora, yakni Japah, Ngawen dan Todanan.
Sumber : pesantrenmandiri.com
0 komentar :
Posting Komentar