Pria kelahiran Yogyakarta, 7 Januari 1950 ini adalah sosok di balik Mirota Batik yang sangat terkenal di Yogyakarta. Selain Mirota, pria bernama lengkap Hamzah Sulaiman ini juga mendirikan restoran House of Raminten. Suka dan duka telah dilalui pria yang kini memilih pensiun dan lebih banyak meluangkan waktunya untuk berkesenian. Seperti apa lika-liku perjalanan kesuksesannya? Bagi saya, kesuksesan berarti bisa membeli sesuatu sesuai kehendak hati. Saya tak perlu mengatakan yang muluk-muluk, apa saja yang saya inginkan. Sukses itu, jika pengin beli mobil, saya bisa beli, pengin tidur, saya bisa tidur. Meskipun untuk mencapai yang saya inginkan itu harus dengan jerih payah. Semua memang tak datang dengan sendirinya. Sewaktu muda, saya pernah pengin punya segala sesuatu, ternyata sekarang keinginan itu terkabul. Kadang, keinginan saya bagi orang lain agak berlebihan, misalnya pengin dokar dan kereta kencana, ya, saya beli lalu saya letakkan di halaman rumah. Bukan bermaksud sombong, tapi memang saya gunakan sebagai pajangan untuk memperindah rumah. Malah banyak juga, lho, yang foto-foto di situ. Bisa dikatakan, saya sudah tak heran dengan segala kemewahan di dunia ini.
Keinginan saya paling akhir adalah punya panggung, itulah obsesi saya sejak muda. Bayangkan bisa membuat pertunjukkan diterangi berbagai lampu. Akhirnya semua itu tercapai, tiap Sabtu malam ada pertunjukkan di Mirota Batik, meski tak selalu saya yang mengisi. Panggung itulah keinginan terakhir saya. Memang, sih, pengin punya panggung yang besar. Tapi harga tanah di Yogyakarta sekarang sudah mahal. Kebetulan di lantai 3 kosong, saya ubah saja jadi ruang tunggu dan panggung. Setelah keinginan itu tercapai, saya tak ingin apa-apa lagi. Mirota Batik yang berada di Jalan Malioboro, Yogyakarta adalah perjuangan saya dalam menangani bisnis. Jatuh bangun telah saya lalui, sampai pernah menerima tuduhan saat Mirota terbakar habis. Kini, sudah saatnya perlahan-lahan saya serahkan bisnis ke orang kepercayaan saya. Saatnya saya kini menikmati hasil bisnis, karena terus terang saya sudah capek.
Cinta Seni Tari
Mengenang masa kecil adalah saat yang paling menyenangkan. Saya adalah bungsu dari 5 bersaudara. Sejak usia 6 tahun, Ibu, Tini Yumiati, sudah menyuruh saya latihan tari. Saya pun diikutkan grup tari dan saya menurut saja pada keinginan orangtua. Untungnya saya menyukai tari, maka saya melakukannya dengan senang hati. Malah kakak perempuan saya yang tak suka menari memilih tak meneruskan latihan lagi. Beda dengan saya, yang tetap melanjutkan latihan. Saat pentas, Bapak, Hendro Sutikno dan Ibu ikut menonton dan bangga melihat kepiawaian saya. Meski peran saya hanya jadi kera saat pentas Ramayana. Saya masuk dalam dunia yang saya sukai. Inilah mungkin yang membuat saya punya obsesi, suatu saat nanti ingin punya panggung sendiri, dimana bisa pentas sesuai kehendak hati. Orangtua sebenarnya tak mengurus sekolah anak-anaknya. Mereka sibuk mencari uang di sebuah perusahaan. Sebetulnya Bapak mau dipindah kerja tapi Ibu menolak, akhirnya memilih keluar dan buka usaha sendiri. Mungkin sebenarnya orangtua ingin anak-anaknya mandiri, makanya semua diserahkan ke anak-anak. Meski saya sempat mengecap bangku kuliah, tapi tak sampai selesai karena harus mencari duit.
Untungnya semua anak-anaknya punya kemauan kuat mencari uang sendiri, misalnya kakak perempuan saya jualan roti meski tadinya kuliah. Kalaupun akhirnya dia jadi sarjana ekonomi, itu karena setelah menikah memilih melanjutkan kuliah.
Begitu juga dengan saya, sempat kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jurusan Biologi. Tapi karena tak begitu pandai, saya memilih berhenti dan masuk ke Fakultas Bahasa Inggris IKIP sampai tingkat D2. Sebenarnya, ada sebabnya saya tak meneruskan kuliah. Saat itu tahun 1971, ada pembukaan pendaftaran kerja di kapal. Keinginan saya untuk melihat dunia luar terutama luar negeri sangat kuat, sampai akhirnya memutuskan kerja di kapal. Bapak dan Ibu tak mendukung atau menolak, mereka menyerahkan semua keputusan ke saya. Pilihan saya, ya, kerja dan keliling dunia. Yang menyedihkan, saat teman-teman saya diantar orangtuanya ke stasiun, saya sama sekali tak ada yang mengantar. Memang sedih, tapi mau bagaimana lagi, mereka punya kesibukan yang tak bisa ditinggalkan. Saya berharap, dengan bekerja bisa menjadi anak mandiri dan tak bergantung pada orang lain. Sampai akhirnya saya mendapatkan sponsor dan bisa bekerja di Amerika. Saya bekerja sebagai perawat meski tak punya ijazah. Hasilnya, saya bisa menyewa apartemen dan hidup layak. Tapi lama-lama saya berpikir, harta benda itu tak ada artinya karena saya tidak dekat dengan keluarga. Ada kerinduan yang memuncak ingin bertemu mereka. Meski sudah bergelimang harta, saya selalu pengin pulang. Akhirnya, saya memutuskan kembali ke Yogyakarta tahun 1974.
Jual Batik
Setahun setelah kepulangan saya, Bapak meninggal dunia. Mungkin memang sudah suratan, ya. Saya terpaksa meneruskan usaha Bapak, meski saat itu usia saya baru 25 tahun. Usaha yang dikelola Bapak adalah toko kelontong di Malioboro. Ibu juga sudah buka toko roti di garasi. Toko yang mereka miliki bernama Minuman dan Roti Tawar disingkat ‘Mirota’. Kelak, saya mewariskan nama itu untuk toko saya, Mirota Batik, tepatnya. Karena jiwa saya di seni, saya membuka toko batik pada 1976. Kenapa batik? Memang, secara otodidak saya juga bisa mendesain batik. Sempat juga mempunyai grup tari The Glass & Dolls. Tadinya saya memang berharap bisa hidup dari seni tari, ternyata malah merugi.
Penyebabnya tak lain karena saya terlalu memikirkan kostum yang bagus dan indah. Sayangnya yang menonton hanya sedikit, jadi pengeluaran untuk kostum-kostum mahal tak bisa tertutupi. Pernah juga punya usaha katering yang dikelola Budhe, karena saya tak jago masak. Berhubung Budhe tinggal di Purworejo, beliau harus pulang-pergi ke Yogya. Lama-lama, ya, repot. Setelah grup tari bubar, saya konsentrasi jadi desainer dan jualan batik di Mirota, meski tempatnya kecil. Mirota Batik buka tahun 1978-an. Sekarang lebih dikenal sebagai mal. Dulu, sih, masih pertokoan Malioboro. Agar isinya lebih bervariasi, saya yang kenal dengan pemilik Danar Hadi lalu bekerjasama untuk mengisi toko. Dulu, tokonya masih kecil. Saat itu Malioboro masih sepi. Bagian utara saja masih seperti daerah hantu, belum seramai sekarang. Saya kini memilih pensiun dan menyerahkan Mirota Batik kepada orang kepercayaan saya. Sekarang saya cuma ingin menikmati jerih payah saya selama ini.
Jemput Bola
Untungnya saya termasuk orang yang telaten. Meski sepi pembeli, tapi tetap saya jalani dengan berbagai upaya dan usaha. Saya mendatangkan batik dari berbagai daerah dan toko, sampai akhirnya mulai dilirik orang. Dan, bicara soal suasana Jogja, ya, memang identik dengan suasana keraton. Makanya saya mendekorasi Mirota seperti keraton. Memang, konsepnya tak hanya jualan batik saja, tapi juga suasana. Saking rajinnya, saya pernah mendapat Kalpataru sebagai pembina perajin. Saya suka membawa contoh barang ke perajin, lalu oleh mereka dibuat yang bagus, sehingga barang itu bisa dijual meski tak harus selalu dijual ke saya. Tahun 1980-an adalah saat dimana saya jarang di rumah. Kerjanya mencari perajin, sampai jauh ke pelosok daerah. Saya memang tak berdiam diri saja selama terjun di bisnis ini, tapi menjemput bola. Meski ada juga perajin yang datang ke saya menawarkan diri. Pokoknya, saya coba membuka peluang bisnis buat orang lain. Saya datangi pameran satu ke pameran lain, di desa-desa di Jawa dan Bali. Saya selalu melihat peluang di luar. Tentu saja sekarang hal itu sudah tak saya lakukan lagi karena umur sudah semakin tua.
Mungkin di situlah kelebihan Mirota Batik, barangnya beraneka ragam dari berbagai daerah. Akhirnya, pelan-pelan pembeli tertarik, datang, dan membeli. Di Mirota, para pengunjung juga bisa melihat pembatik dari keraton yang sedang membatik kain. Tahun 2011 ini, saya dirikan juga toko oleh-oleh yang bertempat di Mirota dengan harga terjangkau.
Sumber : .tabloidnova.com
0 komentar :
Posting Komentar