Selasa, 30 April 2013


Hal yang kerap memusingkan sepasang calon pengantin ketika ingin melangsungkan pernikahan adalah masalah biaya. Bukan hanya biaya sewa tempat acara itu dan hidangan makanan bagi para tamu, tapi juga urusan tata rias serta kebutuhan gaun pengantin.
Farina Ho menyadari beban berat yang dihadapi para calon pengantin itu. Untuk meringankan beban mereka, pemilik FOG Bridal ini menawarkan program cicilan paket pernikahan, mulai dari tata rias, busana pengantin hingga dokumentasi pernikahan. “Saya tidak ingin masalah biaya menghalangi rencana pernikahan klien,” kata dia.
Sejatinya, setiap perempuan ingin tampil cantik nan menawan. Tak heran, mereka kerap menyambangi salon kecantikan untuk bersolek sekinclong mungkin. Sayangnya, saat ini biaya jasa kecantikan semakin mahal.
Kondisi tersebut mendorong Farina Ho menerjuni bisnis kecantikan. Misi utamanya adalah menyediakan jasa kecantikan berkualitas tapi dengan harga terjangkau. Toh, bukan perkara mudah baginya mengarungi dunia bisnis kecantikan.
Selain banyaknya jumlah pesaing, pengalaman Farina di bisnis ini juga masih ‘hijau’. Karena itu, dia kerap menelan pil pahit di awal-awal tahun merintis usaha kecantikannya.
Farina berkisah, pertama kali terjun ke bisnis salon kecantikan pada tahun 2001. Lokasi usahanya berada di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Sayangnya, baru satu tahun berjalan, dia sudah harus menutup usahanya itu.
Penyebabnya, ketika itu Farina kurang ketat dalam mengontrol kerja karyawannya dan minim pengalaman berbisnis salon. “Sedih sekali. Apalagi, itu yang pertama buat saya,” kenangnya.
Sejak saat itu, Farina sempat mengalihkan fokusnya ke bisnis lain. Sayang, usaha itu juga tak berjalan mulus dan harus gulung tikar pada 2005. “Karena globalisasi, barang saya sulit bersaing di pasar luar negeri,” ujarnya.
Beruntung, Farina bermental baja. Seolah tidak mau kapok berbisnis, dia kembali menjalankan bisnis kecantikan. Pada tahun 2004, dia membeli waralaba salon Rudi Hadisuwarno.
Bukan tanpa alasan, Farina memilih menjalankan usaha salon waralaba. Menurut dia, bisnis waralaba biasanya sudah memiliki standar baku operasional prosedur (SOP). Yang lebih penting lagi, nama waralaba tersebut sudah dikenal baik masyarakat.
Dengan pertimbangan itu, Farina yakin bakal tidak terperosok dua kali di lubang yang sama. “Saya memetik pelajaran berharga dari kegagalan sebelumnya. Dari situ saya berpikir, mengapa tidak memanfaatkan waralaba dari pemain lain yang sudah terkenal,” katanya.
Naluri bisnisnya itu tidak meleset. Hanya butuh waktu tiga tahun bagi Farina untuk menggaet banyak pelanggan dari bisnis salon waralabanya. Dalam periode itu, usaha waralaba Salon Rudi Hadisuwarno milik Farina semakin dikenal oleh konsumen yang berada di lingkungan sekitar, yakni di kawasan Percetakan Negara, Jakarta Pusat.
Hal itu tak membuat Farina berpuas diri. Justru, dia terus memutar otak untuk membuka gerai rias pengantin dan penyewaan gaun pengantin. Apalagi, banyak konsumen yang menanyakan layanan ini. “Selain itu kemampuan make up ahli kecantikan saya juga ternyata cocok dengan banyak konsumen saya,” ujarnya.
Inilah yang membuat Farina berani membuka FOG Bridal pada tahun 2007. Usaha ini menempati lahan kantin di bekas kos-kosan milik Farina yang bersebelahan dengan bisnis salonnya.
Dia mengadopsi konsep dan strategi bisnis dari waralaba Salon Rudi Hadisuwarno untuk operasional FOG Bridal. “Semuanya sudah teruji di usaha waralaba itu,” ucapnya.
Tak hanya itu, Farina mengadopsi cara mengatur tenaga pemasaran. Pada tahap awal, FOG Bridal memiliki lima pekerja, yang empat diantaranya bertugas menghias calon pengantin.
Pada tahun ketiga, FOG Bridal telah bersolek diri dengan menambah jenis layanan yang masih berkaitan dengan pernikahan. Selain salon dan bridal, FOG Bridal melengkapi layanannya dengan fotografi pernikahan. Jadi, setiap pasangan calon pengantin tak perlu repot mencari fotografer perkawinannya. “Layanan kami lumayan komplit,” ujarnya.
Farina berharap, kehadiran FOG Bridal dapat menjembatani kebutuhan para calon pengantin dengan modal yang tidak terlalu besar. “Makanya, target pasar kami adalah mereka yang masuk segmen kelas menengah,” imbuh dia.
Seperti diketahui, setiap tahun biaya pernikahan terus naik. Bagi sebagian masyarakat, biayanya sudah tergolong tinggi. Sehingga, kehadiran bridal, seperti bridal milik Farina ini, memang dibutuhkan untuk menjembatani kondisi tersebut.
Meski sakral, sebuah pesta pernikahan kerap memberatkan pasangan calon pengantin yang akan melangsungkan hajatan itu. Maklum, biaya perlengkapan pernikahan masih mahal. Untuk meringankan beban kliennya, Farina Ho menyediakan paket pernikahan dengan sistem cicilan pembayaran.
Program cicilan ringan itu telah berlangsung sejak FOG Bridal beroperasi pada tahun 2007. Dia ingin membantu klien kelas menengah yang berpenghasilan tetap.
Ternyata sambutannya cukup positif. Menurut dia, jumlah klien yang memanfaatkan program cicilan itu telah mencapai 60 pasangan pengantin. Program cicilan dapat dimanfaatkan ketika mengambil paket pernikahan FOG Bridal.
Farina menawarkan sederet paket pernikahan dengan harga yang terjangkau kantong konsumen kelas menengah. Ada lima paket yang ditawarkan FOG Bridal.
Untuk Paket Honeymoon biayanya Rp 2,5 juta, Paket Deluxe Rp 3,5 juta, Paket Miracle Rp 9,9 juta, Paket Harmony Rp 11,5 juta, Paket Romantic Rp 14,5 juta, dan Paket Fantastic Rp 16,5 juta.
Meski terhitung mahal, Farina menjamin kualitas layanan FOG Bridal. Dia tak main-main dalam urusan kualitas produk dan layanan.
Setiap bulan, misalnya, dia selalu memperbarui koleksi gaun pengantin. Setiap kali belanja, Farina biasa membeli sekitar enam sampai tujuh gaun dengan model sesuai tren yang tengah berkembang di pasar Asia. Selain terbukti efektif menjaring konsumen, strategi bisnis tersebut cukup ampuh mendongkrak pendapatan, serta menguatkan posisi FOG Bridal di bisnis ini.
Hal itu sekaligus membuktikan kepiawaian perempuan lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Perbanas itu membaca kebutuhan pasar.
Di bulan normal atau di luar musim nikah, FOG Bridal rata-rata mengantongi omzet Rp 60 juta per bulan, dengan marjin keuntungan sebesar 30%. “Pada musim nikah periode Oktober-Desember omzetnya bisa naik dua kali lipat,” ujarnya.
Bagi calon pengantin yang berminat mengambil paket cicilan yang ditawarkan FOG Bridal, caranya cukup mudah. Anda tinggal memilih salah satu paket pernikahan tersebut. Setelah menetapkan pilihan paket, Anda hanya wajib menyetor uang down payment alias uang muka sebesar Rp 1 juta kepada FOG Bridal. Setelah membayar uang muka, Anda tinggal menyesuaikan sendiri jumlah pembayaran serta nilai cicilan paket yang diambil.
Yang penting Anda harus memperhatikan ketentuan dari FOG Bridal. Di antaranya, tiga bulan sebelum pernikahan digelar, biaya cicilan harus mencapai 50% dari nilai paket. “Pada H-7 pernikahan sudah harus lunas,” katanya.
Tiap paket memiliki kelebihan masing-masing. Sebagai contoh, Paket Miracle, paket yang paling laku saat ini, mempunyai fasilitas lumayan lengkap.
Pada paket tersebut, FOG Bridal telah menyediakan gaun pengantin lengkap, riasan atau make up, jas pengantin, kue pengantin tiga tingkat, foto studio satu album, foto liputan dan video shooting selama acara pernikahan berlangsung.
Selain itu, bunga tangan dan bunga jas dalam keadaan segar, gaun pengapit, serta make up untuk satu remaja atau dua anak kecil. “Kami juga menyediakan bonus berupa foto kanvas dan bingkai, make-up, dan tata rambut bagi orang tua mempelai,” kata Farina.
Jadi, semestinya program ini bisa meringankan mereka yang ingin menikah namun berbiaya pas-pasan.
Kendati pernah mencecap pengalaman pahit dalam berbisnis salon kecantikan, Farina tak patah arang menekuni bisnis tersebut. Kini, dengan bendera bisnisnya yang baru, FOG Bridal, dia mengibarkan sayap usahanya. Dalam waktu dekat, Farina akan membuka gerai baru FOG di C’One Hotel, Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Pengalaman adalah guru yang terbaik. Pepatah lawas itu dipegang betul oleh Farina Ho dalam merintis usaha salon kecantikan. Dia mengatakan, kesuksesan yang diraihnya selama ini tak lepas dari pengalaman pribadinya, baik cerita pahit maupun manis.
Seperti pernah diceritakan sebelumnya, pada tahun 2001 Farina sempat merasakan pahitnya berbisnis. Ketika itu ia harus menutup gerai salon kecantikannya. Padahal, kala itu usaha salonnya baru berumur satu tahun. Otomatis, peristiwa itu membuat Farina sedih dan kecewa.
Namun, pengalaman getir itu tak membuat perempuan berusia 45 tahun ini jera berbisnis. Sebaliknya, Farina bertekad kembali membangun usaha salonnya.
Untuk menghindari kegagalan serupa terulang, pada 2007 Farina membeli waralaba salon Rudi Hadisuwarno. Dari situ, dia menerapkan sistem manajemen yang benar. Di antaranya, dengan mengadopsi standar operasi prosedur (SOP) waralaba salon tersebut.
Kini, di usianya yang hampir genap tiga tahun, usaha Farina dengan bendera FOG Bridal, telah berhasil menjaring konsumen kelas menengah yang merupakan target pasar bisnisnya.
Saat ini, bisnis FOG telah berkembang pesat. Lihat saja, jumlah karyawan FOG yang awalnya hanya lima, sudah bertambah menjadi 13 orang. Bukan cuma itu. Koleksi gaun, jenis bahan bridal, dan model makeup salon FOG terus dimutakhirkan sesuai dengan tren yang berkembang. Bahkan, Farina berambisi menambah koleksi gaun pengantin yang saat ini berjumlah 80 gaun.
Farina terjun langsung memilih gaun dari produsen busana di luar negeri. Seperti China, Hongkong, dan Taiwan. Semua ini berkat kepiawaiannya dalam memanfaatkan relasi dari bisnis yang pernah digelutinya pada tahun 2005, yakni ekspor-impor.
Melalui jalinan kerja sama dengan koleganya itu, Farina bisa memasukkan gaun pengantin dari luar negeri ke Indonesia dengan ongkos kirim yang jauh lebih murah. Pasalnya, dia menjalin kerja sama dengan pengelola perusahaan yang bergerak di bidang ekspor-impor barang. “Ongkosnya jadi lumayan murah. Kalau dulu saya mesti membawanya sendiri dengan pesawat,” kata dia.
Selain gaun pengantin modern, FOG Bridal juga melengkapi koleksinya dengan menyediakan kebaya pengantin modern. “Dua model busana tersebut yang paling digemari pasangan pengantin,” imbuh Farina.
Untuk makeup, Farina terus mengasah keterampilan para karyawannya. Bahkan, ada seorang perias FOG yang pernah mencicipi pelatihan di salah satu perusahaan kecantikan ternama di Indonesia.
Memang, perias tersebut tidak mendapatkan sokongan dana langsung dari FOG. Tapi, Farina memberikan semacam insentif khusus bagi para karyawannya yang berprestasi.
Hal itu perlu dilakukan Farina agar FOG Bridal tidak ketinggalan dalam memperkenalkan tren mode makeup baru kepada pelanggannya. Pasalnya, model makeup tiap tahun terus berganti.
Demi semakin melebarkan sayap bisnisnya, saat ini Farina tengah bersiap membuka gerai FOG Bridal yang baru. Rencananya, gerai anyar itu akan menempati sebuah ruangan di C’One Hotel di bilangan Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Farina berharap, kehadiran gerai baru tersebut mampu mendongkrak bisnis FOG Bridal. Dia pun optimistis pemilihan lokasi gerai yang tepat mampu menjaring konsumen kelas menengah. “Rasanya tepat untuk membuka gerai baru kami di sini,” tandasnya.
Farina mengaku tidak khawatir dengan keberadaan gerai barunya yang berada di dalam hotel. Menurut dia, kendati terbilang naik kelas dengan menempati ruangan hotel berbintang, tarif jasa kecantikan dan bridal FOG tetap terjangkau konsumen.
Selain itu, Farina juga menjamin kualitas pelayanan FOG akan lebih disempurnakan dari sebelumnya. Tentu saja, lanjut dia, peningkatan layanan itu tidak akan disertai dengan lonjakan tarif yang terlalu berlebihan. “Saya tidak ingin mengambil aji mumpung dengan menaikkan tarif seenaknya. Sebab, hal ini hanya akan memberatkan pelanggan,” pungkasnya.
Sumber : wirasmada.wordpress.com

Mari kita berandai-andai. Jika seandainya usaha atau pekerjaan yang kita kerjakan selalu berhasil, selalu menguntungkan, selalu jadi, dan selalu memuaskan. Wah, pasti sangat menyenangkan sekali bukan? Tapi apakah ada orang yang punya kemampuan seperti itu? Mungkin kalau yang dimaksud adalah orang yang "bertangan dingin" yang tekun dan konsisiten melakukan sesuatu hingga berhasil, itu memang ada, salah satunya adalah pendiri maskapai penerbagan AirAsia, Tony Fernandes.

Anthony Francis Fernandes, adalah seorang pengusaha sukses asal negeri jiran, yang namanya mulai banyak dikenal masyarakat, saat dia berhasil membawa maskapai penerbangan pemerintah Malaysia AirAsia yang diambang kebangkrutan, menjadi memasuki masa jaya.

Sebelum melambungkan nama AirAsia, Tony Fernandez bekerja di Warner Music, dan sempat mencapai prestasi sebagai Manager Director termuda di perusahaan tersebut pada umurnya yang masih 27 tahun. Awal mula dia memutuskan untuk beralih dari bekerja di bidang musik untuk kemudian menjadi seorang pengusaha di bidang maskapai penerbangan adalah berawal dari tayangan iklan EasyJet di bar dan ketertarikannya kepada pesawat. Keputusannya untuk hengkang dari Warner Music didasari fakta yang kurang mengenakkan dari industri music. Pembajakan!

AirAsia yang pada tahun pertama beraksi dibawah komando Tony Fernandez (pada 2002) hanya mengangkut penumpang sejumlah 250.000 dan 200 staf, hingga pada tahun 2012 AirAsia tercatat memiliki 103 armada pesawat dan 10.000 staf serta memiliki target 32juta penumpang kedepannya. Singkat cerita, Tony berhasil "menyentuh" AirAsia yang semula adalah perusahaan penerbangan yang dililit utang banyak menjadi perusahaan yang menguntungkan.

Selain tercatat sebagai pemilik AirAsia, Tony Fernandez tercatat pula sebagai presiden klub sepak bola liga Inggris, Queens Park Rangers (QPR). Pada 18 Agustus 2011 Tony resmi menjadi pemegang mayoritas saham QPR setelah membeli 66% saham klub tersebut dariBernie Ecclestone. Selain sepak bola, Tony juga merambah bisnis berdasarkan hobinya yang lain yaitu pada bidang olahraga balapan mobil F1. Tony tercatat sebagai ketua Caterham Formula One Team yang turun ke arena balap dengan nama Lotus Racing (2010) atau Team Lotus (2011).

Sebelum kita membahas pesan tersembunyi di balik kesuksesan seorang pemilik bisnis penerbangan asal Malaysia ini, berikut adalah cerita tentang Raja Midas yang punya kemampuan apa pun yang disentuhnya bisa menjadi emas. Walau pun kisah Midas ini tidak teruji kebenarannya, namun kita tetap bisa mengambil pesan moral yang ada di baliknya.

Dahulu, negeri Yunani diperintah oleh seorang raja bernama Raja Midas. Waktu itu, di sana dewa-dewa masih tinggal di Gunung Olympus. Mereka tampan, cantik, anggun, dan sakti. Manusia biasa menaruh hormat dan sedikit takut pada mereka, kecuali Raja Midas. Raja yang periang ini tak pernah punya pikiran, bagaimana mungkin para dewa akan mencelakakannya.

Raja Midas suka sekali mengundang para dewa ke istananya untuk suatu perjamuan. Raja Midas sangat tertarik melihat penampilan para dewa yang anggun, cantik, gagah, tampan, dan sakti itu. Raja Midas lupa, kesaktian para dewa mungkin bisa membuatnya celaka. Suatu malam Raja Midas menjamu Dewa Bacchus, Dewa anggur dan Dewa hutan serta beberapa gembala. Karena puas, Dewa Bacchus berjanji akan mengabulkan apa pun permintaan Raja Midas.

Menjamu tamu-tamu terhormat seperti itu membutuhkan biaya banyak, jadi Raja Midas berharap apapun yang disentuhnya dapat berubah menjadi emas. "Dengan demikian aku tak akan kehabisan uang," pikirnya. Dewa Bacchus mengabulkan permintaannya. Mula-mula Raja Midas merasa senang. Disentuhnya bunga-bunga di taman istana dan bunga-bunga itu pun berubah menjadi emas. Dia Menyentuh semak-semak, pohon-pohon, serta dinding istana. Semuanya berubah menjadi emas berkilau.

Tapi ketika Raja Midas lapar, dan ingin bersantap, apapun yang disentuhnya jadi emas. Paha kalkun, ayam panggang, apel, anggur, semuanya jadi emas. Raja Midas tidak bisa makan. Putri kesayangannya berlari masuk ruang makan, dan memeluk baginda untuk mengucapkan selamat pagi, dia pun berubah menjadi patung emas!

Tony memang memiliki keahlian dalam mengelola sebuah bisnis, tapi dia bukan Raja Midas yang punya kemampuan mengubah apa pun menjadi emas dengan menyentuhnya. Itu artinya peluang untuk tidak berhasil dalam usaha apa pun memang selalu ada, demikian juga peluang untuk berhasil juga ada. Dalam "menyentuh" AirAsia Tony memang berhasil, namum di bidang lainnya seperti mengelola klub sepak bola Queens Park Rangers (QPR) dan di arena balap F1 dengan Lotus Racingnya, belum sepenuhnya bisa dikatakan berhasil.

Yang terpenting adalah bukan semua yang kita "sentuh" bisa menjadi "emas", melainkan ada yang menjadi "emas" dari yang kita "sentuh". Belajar dari kisah sukses Tony Fernandez, untuk berhasil dalam bidang yang kita geluti – termasuk dalam berkarier – adalah melakukannya dengan sepenuh hati dan yakin bahwa apa yang kita usahakan itu akan berhasil. Lalu lakukan dengan konsisten walau pun harus bertemu dengan banyak kesulitan. Kalau pun harus berhenti, itu bukan karena menyerah, melainkan karena sudah berhasil dan ingin “menyentuh” bidang lainnya menjadi "emas". Satu hal lagi, sentuhlah apa pun yang Anda lakukan dengan Sentuhan Cinta!

Sumber : id.jobsdb.com

Ristya Stefanie belajar make up secara otodidak dan mendirikan usaha mandiri Make Up & Wedding Design pada 2005, di usia 19 tahun.

Saat masa kanak-kanak, tanpa disadari, Anda mungkin pernah memikirkan atau mengucapkan ingin menjadi apa. Boleh jadi Anda sudah menentukan pilihan profesi dengan kejujuran bukan karena desakan orang lain saat masih belia. Meski seiring perjalanan waktu, cita-cita terpendam itu sempat beralih atau bahkan semakin menjauh dari kenyataan.

Perias pengantin berusia 25, Ristya Stefanie mengalaminya. Perempuan asal Surabaya ini mengaku pernah mengucapkan ingin berwirausaha saat masih belia. Meski boleh jadi saat itu ia belum mengerti apa itu wirausaha dan ingin berwirausaha di bidang apa. Namun ucapan itu menjadi nyata, karena kini cita-citanya menjadi entrepreneur terwujud. Sejak usia 13, perempuan yang akrab disapa Tya memulai perjalanannya sebagai entrepreneur dengan keahliannya sebagai penata rias wajah.

Saat itu, menggunakan make up ibunya, Tya menawarkan diri merias teman-teman dekatnya untuk berbagai keperluan. “Saya merias teman-teman yang ingin tampil di acara pertunjukkan 17 Agustus atau mereka yang butuh make up untuk acara lainnya. Modalnya, alat make up ibu saya. Tapi, setelah mendapatkan bayaran dari teman-teman, saat itu sekitar tahun 2000 saya menerima uang jasa rias wajah Rp 15.000 per orang. Dengan total empat orang, saya mendapatkan uang Rp 60.000 untuk pertama kalinya dari merias wajah dan membeli alat make up darinya,” tutur Tya saat jumpa media di Citywalks Sudirman, Jakarta, Rabu (22/2/2012).

Keterampilan Tya dalam merias wajah mendapatkan apresiasi positif dari orang-orang terdekatnya. Kemahirannya semakin terasah saat Tya mengeyam pendidikan S-1 Komunikasi di Universitas Petra. Sambil kuliah, perempuan kelahiran Surabaya, 15 September 1986 ini pun memberanikan diri merintis bisnis make up wedding. Belum juga meraih gelar sarjana, Tya memutuskan mendirikan Ristya Stefanie Make Up & Wedding Design pada 2005, di usia 19.

Diskriminasi
Tak mudah bagi perempuan muda untuk terjun ke bisnis tata rias pengantin. Seperti Tya yang mengalami penolakan dan diskriminasi.
Meski terbukti sukses mempercantik perempuan dan memahami seluk beluk make up, namun ketika memutuskan terjun ke industri dan bisnis tata rias pengantin, keterampilan yang didapatkan secara otodidak menjadi pertimbangan banyak orang. Diskriminasi kerap dialami Tya karena usia muda dan keterampilan make up didapatinya tanpa berbekal ijazah sekolah tata rias profesional.

“Saat mengikuti kompetisi, menurut saya penata rias wajah yang belajar otodidak menjadi prioritas ke sekian meskipun ia mampu menciptakan make up yang baik. Saya pernah menang di kompetisi tingkat nasional, namun saya merasakan adanya perbedaan perlakuan dan saya melihat banyak peserta lain yang belajar make up otodidak memiliki keterampilan yang baik, namun kalah bersaing dengan peserta lulusan kursus atau sekolah make up dengan keterampilan make up biasa saja,” jelasnya.

Tak hanya itu, Tya juga pernah dipilih sebagai penata rias pengantin sebuah keluarga di Surabaya, lantaran hasil riasannya dianggap memenuhi selera. Namun ketika tahu, usianya masih muda dan masih kuliah, keluarga tersebut membatalkan begitu saja lantaran tak percaya perempuan seusianya mampu menangani riasan pernikahan.

Tya memang belum memiliki jam terbang tinggi lantaran usianya pun masih muda. Namun, bukan berarti anak muda tak memiliki keunggulan. Usia muda bukan berarti kemampuan dan keterampilan serta kualitas personal patut dipertanyakan atau bahkan diragukan. Alih-alih berpikir negatif atas berbagai penolakan yang diterimanya, Tya justru memompakan semangat ke dalam dirinya untuk terus menjalankan bisnisnya.
“Legowo, sudah itu saja yang saya lakukan,” kata Tya yang juga mahir merancang kebaya dan kini mengembangkan kemampuannya merancang gaun pengantin bergaya internasional menggunakan batik.

Berbekal pengalaman, Tya konsisten mengembangkan usahanya dan menjadi pebisnis  yang diperhitungkan industri tata rias dan busana pengantin modern, berbasis di Pondok Chandra Surabaya, Jawa Timur.
“Saya lebih suka menjadi owner ketimbang menjadi pegawai,” aku Tya yang mematok biaya jasa rias pengantin Rp 15 juta khusus make up, atau Rp 42,5 juta untuk satu paket tata rias dan busana pengantin.

Sumber : usahabiznisku.com

Senin, 29 April 2013


RODA kehidupan memang berputar. Kesabaran, ketekunan, kerja keras,dan pantang menyerah menjadi modal utama seorang pedagang tahu keliling yang kini menjadi bos pabrik yang memproduksi bahan makanan beromzet jutaan rupiah.

Adalah Acim Artasin(45) yang pertama kali menginjakkan kakinya di Jakarta, tepatnya di daerah Kebayoran Lama, sekira 1971 silam. Ketika itu, dia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Kedatangannya di Jakarta langsung membawanya mengenal acara berdagang di pasar tradisional. Akhirnya, sembilan tahun kemudian, Acim mulai menggeluti proses jual beli bahan makanan. Berdagang tahu menjadi pilihan pekerjaan baginya. Bisnis keluarga menjadi salah satu latar belakang Acim untuk ikut serta memasarkan tahu dengan sasaran rumah tangga. Mulailah Acim berdagang tahu keliling yang kala itu keuntungan yang didapatnya tidak lebih dari seratusan ribu rupiah per hari.

Meskipun setiap harinya Acim harus berjalan menyusuri jalan di bawah terik matahari, dia melakukannya untuk kehidupan yang diyakini akan lebih baik. ”Sambil berjualan keliling kompleks perumahan, saya juga mulai mengumpulkan modal untuk usaha,” ujar Acim saat ditemui harian Seputar Indonesia (SINDO) di pabrik tahu miliknya di daerah Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.

Kesabaran, ketekunan, dan kerja keras tanpa mengeluh ternyata membuahkan hasil. Setelah lebih kurang 19 tahun berjualan tahu keliling, modal yang dikumpulkan Acim pun mulai menumpuk. Tidak banyak memang,namun bisa membuat pekerjaannya sedikit lebih ringan. Minimal, dengan modal yang dia punya, bisa membuatnya berjualan tahu di pasar tradisional tanpa harus keliling.

Tahun 2000 mulailah Acim memasarkan tahunya di pasar tradisional. Meskipun sudah berjualan di pasar, Acim tidak berhenti mengumpulkan dana untuk memajukan usahanya. Tiga tahun lamanya di berjualan di pasar, peluang membesarkan usahanya nampak di depan mata. ”Awal 2003, ada pengusaha pabrik tahu yang bangkrut dan menawarkan saya untuk membeli pabrik dan alat-alat produksinya. Kesempatan itu langsung saya ambil,” ucapnya mengenang. Sebuah pabrik pengolahan tahu yang berdiri di atas tanah seluas 100 meter persegi menjadi titik balik perjalanan usaha Acim yang lebih besar. Untuk memulai menjadi seorang bos industri pengolahan bahan makanan, Acim tentu harus merogoh kantong lebih dalam.

Untuk membeli bangunan pabrik pengolahan, dibutuhkan dana yang tidak sedikit, yakni berkisar Rp9 juta. Sementara untuk membeli perabotan dan beberapa alat produksi pengolahan tahu seperti mesin uap,tungku air,dan lainnya, Acim membutuhkan dana minimal Rp7 juta. Tentu saja dana tersebut lumayan besar di mata Acim. Namun, tekadnya sudah sebesar gunung untuk mengambil kesempatan ini dan bisa memulai bisnis dengan keuntungan yang cukup menjanjikan di kemudian hari. Dua tahun kemudian, Acim memutuskan menjalankan bisnis ini. Awal tahun 2005, Acim memberanikan diri meminjam modal ke Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebesar Rp35 juta yang untuk membeli lahan pabrik dan bangunannya beserta peralatan pengolahan tahu.

”Harga tanah sendiri sudah sangat mahal sekitar Rp50 juta, tapi bisa dicicil.Jadi pinjaman dari bank bisa untuk memulai usaha sambil menabung untuk melunasi utang tanah dan utang ke bank,” jelasnya. Sadar tidak mampu menjalankan industri pengolahan makanan seorang diri, Acim merekrut tujuh tenaga kerja yang sudah terampil dalam menjalankan mesin pengolahan maupun yang masih baru. Bahkan,dia pernah mempekerjakan 20 orang sekaligus. Namun, jumlah tersebut tidak bertahan lama.Kini,di pabrik kecil miliknya itu, dia mempekerjakan sedikitnya sembilan tenaga kerja.

Acim menceritakan, pada awalnya, industri pengolahan tahu miliknya hanya mampu memproduksi sedikitnya 1 kuintal tahu per hari yang kemudian didistribusikan ke pasar tradisional di daerah Ciputat dan sekitarnya. Menurutnya, tidak banyak keuntungan atau omzet yang diperolehnya pada masa awal menjalankan bisnis ini. ”Paling besar keuntungan per hari hanya Rp300.000. Itu pun sudah dikurangi dengan belanja bahan dasar pembuat tahu dan upah pekerja di sini,” paparnya. Optimisme terpancar dalam diri Acim. Meskipun kondisi awal tidak menguntungkan dan jauh dari ekspektasinya, dia tetap yakin bisnis yang dijalankan akan membawanya pada kehidupan yang lebih baik.

Optimisme yang tinggi membawanya bekerja lebih keras. Alhasil, perlahan tapi pasti, pabrik miliknya mulai berkembang. Acim bukanlah orang pertama yang memiliki pabrik pengolahan tahu di daerah Ciputat dan sekitarnya. Kerasnya persaingan dan kualitas bahan makanan jadi yang diolah di pabrik dan dipasarkan di pasar tradisional membuat Acim tidak boleh menyerah. Alhasil,kini pabrik pengolahan tahu miliknya mampu memproduksi sedikitnya 6 kuintal tahu per hari untuk dipasarkan di rekanannya di pasar Ciputat dan sekitarnya. Lebih dari 1.000 tahu putih ukuran besar dan 790 tahu ukuran kecil yang biasanya dikonsumsi di rumah tangga dihasilkan dari pabrik kecil miliknya. Tentu saja, kuantitas ini harus dibayar cukup mahal.

Biaya produksi dalam sehari mencapai Rp5 juta. Biaya itu tidak hanya dipergunakan untuk membeli bahan dasar pengolahan tahu, biaya proses pengolahan,dan upah bagi para pekerjanya. Jika sehari saja biaya produksi yang dikeluarkan sebesar Rp5 juta,maka selama kurun waktu satu bulan, dana sebesar Rp150 juta harus dikeluarkan untuk memproduksi tahu-tahu berkualitas dan bergizi tinggi. Keuntungan yang didapatnya pun terbilang sudah cukup besar baginya. Jika pada awalnya hanya meraup keuntungan Rp300.000 per hari, kini omzetnya jauh di atas itu. Sayangnya, dia enggan menyebutkan omzet yang didapatnya kini.

”Yang jelas bisa untuk menutupi biaya produksi dan bisa membayar cicilan utang ke bank,” katanya sambil tersenyum. Untuk mendistribusikan hasil pengolahannya, Acim juga memiliki sebuah mobil operasional berjenis pikap yang siap mengantarnya ke pasar tradisional setiap malam. Salah satu kebanggaannya dengan bisnis ini, Acim sudah berhasil mengantarkan anaknya menjalani proses pendidikan tinggi di sebuah perguruan tinggi di Kota Bandung.

Setiap usaha menuju kesuksesan kerap menemui hambatan. Begitu pula yang terjadi pada bisnis industri pengolahan bahan makanan yang dirintis Acim.

Langkahnya menapaki dunia usaha tidak berjalan mulus. Insiden kebakaran yang melanda pabrik tahu miliknya adalah duka terdalam selama dia menjalankan bisnis ini. Amukan si jago merah pada 2005 silam membumihanguskan seluruh bangunan pabrik tahu beserta isinya. Beruntung, rumah tinggalnya yang persis berdampingan dengan pabrik itu tidak ikut habis terbakar. ”Semua ludes dan tidak bersisa. Yang tersisa hanya pakaian yang menempel di badan saja. Ini cobaan terberat selama saya menjalankan usaha ini,” kenang Acim. Kebakaran yang terjadi lima tahun silam bermula karena mampetnya minyak tanah dalam tungku sehingga membuat api di tungku uap membesar dan melahap seluruh barang di dalamnya.

Kerja keras Acim pun seolah habis tidak bersisa. Akibat insiden amukan si jago merah tersebut, Acim mengalami kerugian sekitar Rp100 juta,angka yang cukup besar baginya. Pascakebakaran,tentu saja semua harus dimulai dari awal lagi. Acim mulai mengumpulkan modal untuk melanjutkan usahanya. Acim pun menggadaikan mobil operasional miliknya untuk mendapatkan dana Rp35 juta. ”Waktu itu tidak berutang lagi karena dibantu oleh saudara-saudara saya yang menyumbangkan barang-barang berharga untuk modal saya.Dari saudara-saudara,saya dapat Rp30 juta,”papar Acim. Tidak mau menyerah dengan keadaan, Acim mulai merangkai kembali usahanya.Tragedi kebakaran tersebut justru semakin memperbesar usahanya.

Bangunan pabrik yang semula hanya 100 meter persegi kini diperlebar hingga menjadi 200 meter persegi. Bangunan pabrik miliknya terlihat lebih luas dan bisa dipergunakan untuk memaksimalkan produksi tahu.Selain itu,dia juga berhasil menebus kembali mobil operasional yang digadaikan untuk memulai usaha pascakebakaran. Bahkan, kini Acim sudah terlihat lebih maju beberapa langkah. Pada sepetak lahan di depan pabriknya, terparkir sebuah mobil keluarga. Meskipun dibeli dengan mencicil Rp4,5 juta per bulan, mobil itu seolah menjadi bukti keberhasilan kerja keras Acim.

Sumber : http://harrysutanto.com


NEKAT, itulah kata pertama yang keluar dari mulut seorang pengusaha agrobisnis, Triyono ketika ditanya bagaimana awal mula merintis usahanya hingga maju seperti sekarang ini. Pria asal Malang ini merupakan pengusaha agrobisinis yang khusus menangani peternakan dan juga pemotongan hewan ternak sapi dan ayam dengan nama perusahaan Tri Agri Aurum Multifarm. Sebelum terjun ke dunia pemotongan dan peternakan sapi dan ayam, Triyono mengawali usahanya dengan mengelola bebek potong. Usahanya ini dia rintis sejak tahun 2006 hingga sekarang. “Pertanyaan besar sewaktu saya kuliah, kalau lulus nanti mau jadi apa? Karena kalau bekerja adalah hal yang sulit bagi saya. Ya akhirnya mulai 2006 saya mencoba merintis usaha waktu itu, bebek potong waktu itu. Jadi nekat, tidak punya uang, utang ke bank. Nekat-nekatan saja,” ungkap Triyono sambil tersenyum kepada okezone di Jakarta, belum lama ini.

Setelah itu pada tahun 2007, Triyono terinspirasi sewatu melihat hewan-hewan kurban dan mulai tepikir untuk membangun sebuah peternakan (farm). Dan tentu saja untuk membangun sebuah farm diprlukan dana yang tidak sedikit. Untuk itu, Triyono berinisiatif untuk membentuk sebuah Kelompok bersama agar bisa berinvestasi dalam usaha ini. Yakni dengan teman-teman kuliah Triyono dan orang yang minat pada usaha peternakan ini mereka bersama-sama berinvestasi pada bisnis ini. Perlahan namun pasti usaha ini pun mulai berkembang, dimana pada tahun 2008, dengan mengandalkan lahan yang awalnya tidak terlalu besar untuk mebangun kandang-kandang dan mulai ada ternak sapi. Setahun kemudian yaitu pada tahun 2009, pria yang merupakan sarjana peternakan dari Univesitas Sebelas Maret ini mulai mencari inisiatif lagi untuk dapat mempertahankan usaha, yaitu dengan mulai melirik bisnis yang tidak jauh dari bidang peternakan juga yaitu peternakan dan pemotongan ayam. Lalu Triyono berpikir jika dirinya hanya melakukan bisnis pada satu hewan ternak saja yaitu sapi, perusahaannya tidak akan kuat. Baik dari segi finansial atau infrastruktur.

Dengan modal awal yang hanya berkisar puluhan jutan dan ditambah dengan modal investasi sekitar Rp300 juta, kini Triyono dapat meraup omset rata-rata sekitar Rp500 juta. Saat ini selain bergerak di pemotongan dan peternakan ayam dan sapi, Triyono juga mengolah limbah-limbah perusahaan untuk dijadikan pupuk organik. Dan saat ini Triyono memiliki lebih dari 30 ekor sapi dan ayam sekitar 25 ribu ekor. Pada tahun 2011 ini Triyono pun bercita-cita untuk melalukan ekspansi usaha dengan memasuki pasar Jakarta untuk daging sapi. Triyono pun ingin mempunyai usaha yang besar untuk sapi ini, karena Triyono melihat Indonesia merupakan importir terbesar di dunia untuk daging sapi.

Dari sini Triyono melihat bahwa ada peluang di sektor ini. Tidak muluk-muluk Triyono pun bercita-cita untuk menggantikan Australia dalam hal ekspor daging sapi. “Saya berharap Indonesia bisa menggantikan Australia untuk ekspor daging. Ya tidak harus jauh-jauh ke sekitar Singapura, Malaysia, Qatar dan Arab,” jelasnya. Perjalanan Triyono dalam merintis usaha ini bukan tanpa rintangan. Rintangan, kendala, batu kerikil pasti selalu ada dalam perjalanan menuju sebuah kesuksesan. Adapun kendala-kendala yang dihadapi oleh Triyono antara lain dalam kurun waktu 12 bulan, ada tiga atau empat bulan yang penjualannya tidak memuaskan atau minus, akibatnya tagihan dari bank membengkak. “Namun jika semua permasalahan bias diselesaikan dengan baik, maka rintangan atau kendala seberat apapun bisa terselesaikan,” tuturnya.

Tips sukses ala pria berkacamata ini adalah jika ingin menjadi pengusaha yang baik dan benar maka berpikirlah unutk menjadi pengusaha. Triyono yakin bahwa apa yang manusia pikirkan itulah yang akan terjadi. Dimana jika ingin menjadi pengusaha, berpikirlah bagaimana caranya untuk menjadi pengusaha yang baik, kreatif, inovatif, karena untuk menjadi pengusaha bukanlah merupakan hal yang mudah. Tidak seperti karyawan yang hanya menunggu perintah dari bosnya saja. Selain itu, modal lain untuk menjadi pengusaha adalah harus berani mengambil resiko. “Kalau mau jadi pengusaha itu, jangan lihat nanti bagaimana. Tapi bagaimana nanti saja, sikat dulu urusan leher belakangan. Saya tidak akan menceritakan masa lalu saya dengan detail. Tapi saya bisa menceritakan pemikiran saya dan hasil pemikiran saya ke depan dengan detail,” tutupnya.

Sumber : okezone.com


Sejak tanggal 21 Januari 2013 PT. Bumi Mas Farm telah resmi menjalin kerjasama dengan perusahaan kami dalam bentuk penggunaan Viterpan Unggas sebagai program suplemen probiotik wajib bagi seluruh mitra peternaknya. Perusahaan kemitraan ayam broiler yang bermarkas besar di Kab. Cianjur – Jawa Barat ini menggalang kemitraan dengan peternak-peternak di Cianjur, Bandung Barat, Purwakarta dan Subang. Imam Budi Santoso, S. Pt selaku Direktur PT. BMF menyampaikan bahwa wilayah usahanya akan segera menjangkau Karawang dan Bekasi. Beliau mengakui bahwa Viterpan Unggas sangat nyata meningkatkan performans ayam broiler.

Tidak mau percaya begitu saja, kami memutuskan untuk mengunjungi PT. BMF guna melihat langsung sepak terjang perusahaan ini dan mendengar langsung dari para peternaknya mengenai khasiat Viterpan Unggas. Maka pada tanggal 6 Maret 2013 pesawat Lion Air menerbangkan kami ke Bandung dan dilanjutkan dengan bus ke Cianjur. Setiba di sana kami di sambut oleh seluruh awak PT. BMF dengan hangat. Pak Imam mengatakan bahwa kebetulan keesokan hari akan ada pertemuan seluruh peternak di Puncak. kami pun diajak.

Pertemuan itu diselenggarakan di Hotel Bukit Raya Talita – Cipanas, Puncak dengan sponsor sebuah perusahaan pakan ternak yang produknya juga dipakai PT. BMF selama ini. Kami berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan beberapa peternak yang hadir mengenai banyak hal termasuk soal Viterpan Unggas. Pertemuan berlangsung dengan semangat karena peternak mendapatkan banyak ilmu pengetahuan seputar peternakan ayam. Acara ini memang secara berkala diadakan sebagai ajang ramah tamah sekaligus pendidikan bagi mitra peternak, tegas Pak Imam.

Keesokan harinya, kami diajak berkeliling ke kandang-kandang peternak mitra PT. BMF di sekitar Cianjur, Bandung Barat dan Purwakarta. Salah satunya ke kandang milik Pak Usman di Cipatat, Bandung Barat. Peternak muda ini menyambut kami dengan keramahan khas orang Sunda. Cukup lama kami bertiga berbincang-bincang sambil berfoto dan bersyuting. Pak Usman telah 3 periode menjadi mitra dengan hasil yang selalu baik alias memuaskan. Atas Izin Allah dengan  memkai ViterpanUnggas selama 2 periode terakhir, ujarnya tersenyum. Hasilnya bau kandang jauh berkurang, sekam senantiasa kering (kandangnya postal 2 lantai), ayam tak mudah sakit, irit obat-obatan dan bobotnya oke.

Pak Imam menyebutkan bahwa Viterpan Unggas diberikan melalui air minum tanpa klorin/kaporit mulai umur 5 hari pada sore hari sampai pagi. Jadwal pemberiannya setiap saat ketika tidak ada program obat lainnya (waktu air putih). Karena PT. BMF mengkhususkan diri pada panen ayam kecil < 1 kg (umur 17-20 hari panen) maka kebutuhan Viterpan Unggas hanya 1 botol per 1.000 ekor ayam. Diakui bahwa penggunaan Viterpan Unggas sangat menghemat biaya obat-obatan secara keseluruhan. Biaya OVK cukup maksimal 350 rupiah per ekor, tegasnya.  Lanjut Pak Imam, guna meyakinkan tumbuh kembang ayam yang optimal peternak wajib serius menjaga masa pemanasan. Harus benar. Harus sempurna. Harus dijaga ayam nyaman dengan suhu kandang pada siang dan malam.

Menurut Pak Usman, dirinya betah bermitra dengan PT. BMF karena sistem kontrak dan waktu panennya menguntungkan kedua belah pihak dalam kondisi apapun (berbeda dengan perusahaan lain yang pernah diikutinya), kagum kepada Pak Imam yang meski Direktur PT. BMF tapi selalu rutin berkunjung dan menemui peternak bersama ayam-ayamnya (jarang ada sekelas pimpinan perusahaan yang mau masuk kandang) dan senang memakai Viterpan Unggas karena ayamnya bagus terus selama 2 periode (keuntungan panen sangat menggairahkan). Setiap chick-in jangan lupa Viterpan nya ya Pak Imam, katanya mengingatkan. Pak Imam mengacungkan jempolnya sambil tersenyum dan kami pun pamit.

Sumber : http://kandangclosedhouse.wordpress.com


Di tengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan saat ini, tak sedikit penganggur yang bingung, stres, dan akhirnya putus asa. Padahal, begitu banyak hal di sekeliling kita yang bisa diusahakan menjadi sumber penghasilan. Untuk itu, yang diperlukan hanya sedikit kreativitas. Hiro Prabantoro (39 tahun) warga Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, bisa menjadi salah satu sumber inspirasi. Selama sembilan tahun terakhir Hiro menekuni usaha mainan miniatur dari kayu. Produk yang dibuat Hiro bukan dari bahan baku kayu-kayu mahal, melainkan dari limbah kayu sisa industri furnitur dan kusen. Berbagai limbah kayu, mulai dari limbah kayu jati, mahoni, hingga nangka yang diperolehnya dari pengusaha furnitur setempat disulapnya menjadi berbagai mainan miniatur. Contohnya miniatur replika kendaraan tempur, pesawat, senjata, motor, mobil, dan pajangan hewan.

Dengan limbah kayu seharga Rp 300.000 per mobil, Hiro bisa menghasilkan 200-300 mainan miniatur. Pemasaran produk Hiro pun telah merambah lima benua. Produksi mainan miniatur itu telah dipasarkan di 22 negara. Harga yang dipatok oleh Hiro untuk mainan hasil karyanya mulai dari 10 dollar AS hingga 2.500 dollar AS per mainan. Omzetnya mencapai Rp 75 juta per bulan. Peminat mainan karya Hiro tidak main-main. Selain kolektor dari luar negeri, produk Hiro juga diminati oleh Pentagon, Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Melalui penjual perantaranya di negeri Paman Sam itu, Hiro memasok beberapa jenis miniatur kendaraan tempur sebagai suvenir bagi pejabat-pejabat di sana. Bahkan, pabrikan mobil ternama, Hummer, juga memesan miniatur karya Hiro untuk dijadikan model-model miniatur penjualan. Saat ini, Hiro tengah menyelesaikan pesanan replika mesin Ferrari GTB 365 dengan skala satu banding satu untuk seorang kolektor di Australia. Untuk pesanan tersebut, satu replika mesin dihargai Rp 15 juta.

Awalnya Hiro menggemari mainan miniatur dan replika sejak kecil. Minatnya terhadap mainan miniatur itulah yang menghantarkan Hiro pada usahanya saat ini. Hiro membuka usaha membuat miniatur dari kayu ini diberi nama CV Valkiarra pada tahun 2000. Saat membuka usaha itu, ia masih bekerja sebagai konsultan dalam sebuah program pendampingan usaha kecil di salah satu desa di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. 

Setelah program pendampingan usaha kecil itu selesai, masyarakat meminta Hiro melanjutkan pengembangan usaha dengan menanamkan modalnya sendiri. 

Dengan modal awal Rp 5 juta ia bersama beberapa tenaga dari warga desa mulai menjalankan usaha itu. Hiro langsung memilih memasarkan produknya ke luar negeri melalui situs internet yang dibuatnya. Dari situ, peminat produknya mulai mengalir. Desain dan tingkat kedetailan miniatur yang dibuat Hiro pun semakin kompleks, mengikuti permintaan klien. 

Saat ini ia mempekerjakan 15 pegawai yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang, mulai dari desain prototipe, pemotongan, pemahatan, pembubutan, hingga pengecatan. Selain itu, tenaga kerja yang direkrut Hiro juga diharuskan memiliki kualifikasi kesabaran dan ketelitian tinggi. Hal ini dibutuhkan karena produk yang dibuat berukuran kecil dan sarat detail. Sampai saat ini, Hiro telah memproduksi lebih kurang 1.000 unit miniatur per bulan. Desain dan model miniatur yang dihasilkan selama ini sudah mencapai ratusan. Untuk jenis pesawat saja, Hiro telah membuat mulai dari wright brothers sampai jet tempur F-35. Total sudah sekitar 300 model. Hampir semua mainan miniatur dengan berbagai ukuran bisa dibuatnya. Namun, jenis yang paling sulit adalah panser atau tank karena banyaknya rincian struktur yang harus diperhatikan. Dari sasis, mesin, interior, sampai baut-baut terkecil harus dibuat semirip mungkin dengan bentuk aslinya. Selain itu, Hiro menuturkan, pembuatan miniatur replika tank membutuhkan banyak bahan baku, mencapai 2.000-3.000 potongan kayu. ”Waktu pengerjaan juga lama. Bisa mencapai satu bulan untuk mengerjakan 25 unit miniatur replika tank,” katanya.

Sumber :  http://inungfauziah.blogspot.com

Keuletan, pantang menyerah, dan ketekunan. Tiga kekuatan itulah yang diramu Melati Fajarwati, pengusaha Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Wanita berusia 20 tahun itu sukses menjadi jutawan dengan berjualan telur. Melati mengaku bahwa omzet per tahun sudah mencapai Rp4,3 miliar. Usaha telur ayam ini menurutnya telah dipasarkan hingga ke pulau Jawa. Melati menilai bahwa peluang bisnis telur ayam organik di pasar masih terbuka lebar, terutama telur dari jenis ayam Arab atau ayam Balqis. Maka dia pun mencoba peluang bisnis gemilang itu. "Kalimantan Barat masih mempunyai lahan yang luas untuk membangun usaha peternakan. Lagi pula tidak terlalu sulit pengembangannya," ujar Melati dalam seminar bertajuk 'Inovasi Tanpa Batas'  di hotel Aston Pontianak, Sabtu 23 Maret 2013.

Melati, mengawali bisnisnya dengan mengikuti lomba kewirausahaan yang diadakan oleh Direktorat Perguruan Tinggi Kementerian Pendidikan. Dia terinspirasi dari peternakan ayam balqis milik tetangganya.  "Saya melihat peluangnya cukup bagus, tetapi belum terkelola dengan baik," kata Melati. Melati lantas membuat perencanaan bisnis dan memproyeksikan peluang usaha ini. Tak disangka, business plan yang diajukannya ternyata disetujui dan dibantu untuk mewujudkannya. Beranjak dari usahanya ini, Melati kemudian mengikuti lomba kewirausahaan yang diadakan Bank Mandiri. Hasilnya, ia tampil sebagai pemenangnya. Uang hadiah lomba ini lalu digunakan kembali sebagai tambahan modal pengembangan dan penguatan usahanya. "Kini saya bisa menghasilkan lebih dari 4 ribu  butir telur per hari dengan harga Rp2.500 per butirnya," ujar wanita berkerudung ini. 

Dalam sehari, lanjut Melati, tak kurang dari Rp10 juta keuntungan bersih diraihnya.  Setahun, omzet Melati bisa mencapai Rp4,3 miliar. Peternakan Melati, di kawasan Parit Wak Liji, Kabupaten Kubu Raya, telah membawanya menjadi jutawan dalam usia muda.
Sumber : bisnis.news.viva.co.id

Tarsim (60), warga Kampung Sumber Bangun, Kecamatan Sekolaq Darat, Kubar, hanya satu dari ratusan petani di Kubar yang sudah bisa merasakan manfaat berkebun karet. 

Hanya bermodalkan lahan seluas kurang lebih 4 hektar, Tarmin, bisa meraih penghasilan Rp16 juta sebulan atau Rp 4 juta per minggu. Padahal, usaha kebun karet tersebut bagi Tarsim hanyalah usaha sampingan. Usaha utamanya jasa perbengkelan dan toko bahan bangunan yang telah ia limpahkan ke putranya, Fajar. "Penghasilan sebesar itu termasuk standar untuk ukuran petani karet di Kubar. Kalau perawatannya lebih bagus, hasilnya juga jauh lebih besar," jelas Fajar.

Ketika Kaltim Post bertandang ke salah satu kabun karet milik Tarsim yang berdampingan Kantor Perwakilan Kaltim Post Kubar. Di lahan seluas kurang 1 hektare dan ditumbuhi sekitar 600 pohon karet, beberapa pekerja tampak sibuk mengambil getah dengan cara menoreh kulit batang. Sementara Fajar dan istrinya, juga ikut membantu kerja anak buahnya.

Menjelang pukul 09.00 Wita, tengkulak datang lengkap dengan alat timbangan. Si tengkulak hanya menyebutkan harga belinya yakni Rp 8000 per kilogramnya dan tanpa tawar menawar, panen getah karet milik Tarsim langsung ditimbang. Proses transaksi dilakukan di bawah pohon karet, Minggu (8/6) sekitar pukul 09.00 Wita kemarin.

Pagi itu, panen getah karet Tarsim mencapai 2,4 kwintal atau sekitar 200,4 kilogram. Artinya, pagi itu Tarsim diwakili putranya Fajar dan menantunya bisa membawa pulang uang hasil penjualan getah karet Rp 2,6 juta. "Tapi, sebagian hasilnya disisihkan buat upah pekerja. Kebetulan pekerjanya karyawan bengkel dan toko bangunan saya sendiri. Hitung-hitung tambahan uang rokok," beber Fajar.

Tarsim tertarik berkebun karet, selain perawatannya mudah hasilnya juga menggiurkan.
"Kunci sukses berkebun karet, selain ketepatan memilih bibit, perawatan telaten (terutama menjaga kebersihan kebun dan rutin melakukan pemupukan,Red.), paling terpenting pekerja harus tahu teknik menoreh pohon karet yang benar," jelasnya. Dijelaskan, agar pohon karet bisa berproduksi lama ketika menoreh kulit pohon karetnya harus diusahakan tidak sampai mengenai bagian batang. Kalau hal ini diabaikan, masa produksi pohon karetnya tidak bakal bertahan lama.

Sumber : http://perkebunan.kaltimprov.go.id

F. Widayanto adalah seorang seniman keramik terkenal dari Indonesia. Awalnya keinginan untuk menekuni dunia keramik, bertentangan dengan keinginan kedua orang tuanya. Pada tahun 1983 F.Widayanto memulai awalnya bisnisnya. Dengan kegigihan beliau tetap menajalani mimpinya tersebut sampai akhirnya beliau berhasil menjadi seorang entrepreneur pada bidang seni  keramik ini. Bermula dengan berkualiah di ITB , saat ini Beliau sudah memiliki beberapa outlet atau showroom di beberapa daerah Jabodetabek. Kunci suksesnya adalah bekerja pada bidang usaha yang disukainya. Walaupun usahanya sudah dijadikan semacam bisnis tetapi hal yang paling ia perhatikan adalah design dan product. Dan saat ini F.Widayanto melakukan kerja sama dengan sebuah perusahaan Jepang bernama Kobayashi.

        Dimulai dari mimpi dilanjutkan dengan kerja keras dan juga konsisten. Setiap halangan yang dihadapi pun dijadikan sebagai pelajaran untuk membuat kita dapat lebih lebih mawas diri. Dan setelah kita berhasil , janganlah terlena karena kesusahna dan kesenangan datang silih berganti. Dalam setiap usaha pasti ada pesaing, dan hal ini membuat kita menjadi perlu bekerja dan bekerja lagi agar dapat lebih dari para pesaing kita. Art dan bisnis adalah sesuatu yang side by side, karena itu kita memerlukan orang-orang yang dapat dipercaya untuk dapat menjalankan bisnis kita. Bagaimana pun juga orang-orang yang dimanage untuk menjalankan usaha kita adalah perpanjangan tangan kita.

Visi juga merupakn unsur paling penting dalam membuat suatu bisnis.  Keramik berasal dari tanah liat, dan visi dari seorang F.widayanto dulunya adalah, bagaimana caranya agar tanah liat ini dapat menjadi kebutuhan masyarakat nantinya. Dengan kata lain membuat sesuatu biasa menjadi luar biasa, dengan menambahkan nilai artistik. Kita pun harus memiliki mimpi dalam mimpi kita, agar kita berusaha lebih untuk menggapai mimpi kita.

Jiwa entrepreneur adalah jiwa perjuangan , jiwa tanpa putus asa, dan keberanian dalam mengambil sesuatu yang beda. Sesuatu yang kita punya , itulah yang kita inginkan. Sesuatu yang sederhana itulah yang mengingatkan kita, bekerja dulu, baru menikmati hasilnya. Tapi kembali lagi, jangan mudah terlena dan tetap sederhana.

Dalam usahanya, F.Widyanto mendidik karyawannya secara professional, dengan mengajarkan cara pembuatan dan basic yang sama, melakukan sesuatu sesuai dengan keahlian mereka. Ide yang dimiliki pun selalu berkembang, ide dapat diperoleh dimana saja dan dari siapa saja, maka dari itu selalu hormatilah dan mendengarkan ide dari orang lain. Membuat suatu karya haruslah menyentuh hati , menjual sesuatu yang personal secara personal. Menjual product dengan knowledge untuk membuat orang mendapatkan knowledge.

Mission dari Widayanto : membuat usaha ini terus berjalan, dengan management yang baik.walau beliau sudah tidak ada lagi nantinya, tetapi namanya masi tetap bisa dijual, jadi diperlukan mendidik orang sebagai penerusnya kelak.

Untuk dapat tetap berhasil dalam situasi krisis ini  adalah, terus berkreasi dan terus yakin. Kita harus punya golongan pembeli tersendiri. Bagaimana kita memperkenalkan product kita sendiri  dan membuat orang menjadi loyal dengan brand kita.

Banyak seniman keramik lain yang tidak berhasil dalam menjalankan bisnis keramik ini , karena tidak adanya visi dan perjuangan . Keramik sendiri adalah  hal yang penuh perjuangan sama halnya dengan proses hidup, jika salah kita harus mulai lagi dari awal. Kuncinya adalah Jangan menyerah.

Sumber : indahpermatasari.blogspot.com

Pernahkah anda membayangkan seorang tukang sapu yang bekerja membersihkan jalanan dari sampah dan dedaunan. Atau pernahkah anda membayangkan seorang tukang kuli bangunan yang harus bekerja banting tulang menghadapi panasnya terik sinar matahari demi menafkahi keluarga. Tentu saja anda tidak pernah melirik orang seperti ini.

Tapi pernahkah anda berpikir orang seperti yang tersebut di atas kini menjadi seorang pengusaha sukses yang memiliki omset hingga ratusan juta rupiah setiap bulannya. Mungkin anda akan terkagum-kagum atau cuma bisa melohok melihatnya.

Begitulah yang terjadi pada Tri Sumono yang kini lewat perusahaan CV 3 Jaya, ia mengelola banyak cabang usaha, antara lain, produksi kopi jahe sachet merek Hootri, toko sembako, peternakan burung, serta pertanian padi dan jahe. Bisnis lainnya, penyediaan jasa pengadaan alat tulis kantor (ATK) ke berbagai perusahaan, serta menjadi franchise produk Ice Cream Campina.

Dari berbagai lini usahanya itu, ia bisa meraup omzet hingga Rp 500 juta per bulan. Pria kelahiran Gunung Kidul, 7 Mei 1973, ini mengaku tak pernah berpikir hidupnya bakal enak seperti sekarang. Terlebih ketika ia mengenang masa-masa awal kedatangannya ke Jakarta. Mulai merantau ke Jakarta pada 1993, pria yang hanya lulusan sekolah menengah atas (SMA) ini sama sekali tidak memiliki keahlian.

Ia nekat mengadu nasib ke Ibu Kota dengan hanya membawa tas berisi kaus dan ijazah SMA. Untuk bertahan hidup di Jakarta, ia pun tidak memilih-milih pekerjaan. Bahkan, pertama bekerja di Jakarta, Tri menjadi buruh bangunan di Ciledug, Jakarta Selatan. Namun, pekerjaan kasar itu tak lama dijalaninya. Tak lama menjadi kuli bangunan, Tri mendapat tawaran menjadi tukang sapu di kantor Kompas Gramedia di Palmerah, Jakarta Barat.

Tanpa pikir panjang, tawaran itu langsung diambilnya. “Pekerjaan sebagai tukang sapu lebih mudah ketimbang jadi buruh bangunan,” jelasnya.Lantaran kinerjanya memuaskan, kariernya pun naik dari tukang sapu menjadi office boy. Dari situ, kariernya kembali menanjak menjadi tenaga pemasar dan juga penanggung jawab gudang.

Pada tahun 1995, ia mencoba mencari tambahan pendapatan dengan berjualan aksesori di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Saat itu, Tri sudah berkeluarga dengan dua orang anak. Selama empat tahun Tri Sumono berjualan produk-produk aksesori, seperti jepit rambut, kalung, dan gelang di Jakarta. Berbekal pengalaman dagang itu, tekadnya untuk terjun ke dunia bisnis semakin kuat. “Saya dagang aksesori seperti jepit rambut, kalung, dan gelang dengan modal Rp 100.000,” jelasnya.

Setiap Sabtu-Minggu, Tri rutin menggelar lapak di Stadion Gelora Bung Karno. Dua tahun berjualan, modal dagangannya mulai terkumpul lumayan banyak. Dari sanalah ia kemudian berpikir bahwa berdagang ternyata lebih menjanjikan ketimbang menjadi karyawan dengan gaji pas-pasan. Makanya, pada tahun 1997, ia memutuskan mundur dari pekerjaannya dan fokus untuk berjualan.

Berbekal uang hasil jualan selama dua tahun di Gelora Bung Karno, Tri berhasil membeli sebuah kios di Mal Graha Cijantung. “Setelah pindah ke Cijantung, bisnis aksesori ini meningkat tajam,” ujarnya.

Tahun 1999, ada seseorang yang menawar kios beserta usahanya dengan harga mahal. Mendapat tawaran menarik, Tri kemudian menjual kiosnya itu. Dari hasil penjualan kios ditambah tabungan selama ia berdagang, ia kemudian membeli sebuah rumah di Pondok Ungu, Bekasi Utara. Di tempat baru inilah, perjalanan bisnis Tri dimulai.

Pengalaman berjualan aksesori sangat berbekas bagi Tri Sumono. Ia pun merintis usaha toko sembako dan kontrakan. Sejak itu, naluri bisnisnya semakin kuat. Saat itu, ia langsung membidik usaha toko sembako. Ia melihat, peluang bisnis ini lumayan menjanjikan karena, ke depan, daerah tempatnya bermukim itu bakal berkembang dan ramai. “Tapi tahun 1999, waktu saya buka toko sembako itu masih sepi,” ujarnya.

Namun, Tri tak kehabisan akal. Supaya kawasan tempatnya tinggal kian ramai, ia kemudian membangun sebanyak 10 rumah kontrakan dengan harga miring. Rumah kontrakan ini diperuntukkan bagi pedagang keliling, seperti penjual bakso, siomai, dan gorengan. Selain mendapat pemasukan baru dari usaha kontrakan, para pedagang itu juga menjadi pelanggan tetap toko sembakonya. “Cara itu ampuh dan banyak warga di luar Pondok Ungu mulai mengenal toko kami,” ujarnya.

Seiring berjalannya waktu, naluri bisnisnya semakin kuat. Tahun 2006, Tri melihat peluang bisnis sari kelapa. Tertarik dengan peluang itu, ia memutuskan untuk mendalami proses pembuatan sari kelapa. Dari informasi yang didapatnya diketahui bahwa sari kelapa merupakan hasil fermentasi air kelapa oleh bakteri Acetobacter xylium. Untuk keperluan produksi sari kelapa ini, ia membeli bakteri dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor. “Tahap awal saya membuat 200 nampan sari kelapa,” ujarnya.

Sari kelapa buatannya itu dipasarkan ke sejumlah perusahaan minuman. Beberapa perusahaan mau menampung sari kelapanya. Tetapi, itu tidak lama. Lantaran kualitas sari kelapa produksinya menurun, beberapa perusahaan tidak mau lagi membeli. Ia pun berhenti memproduksi dan memutuskan untuk belajar lagi.

Untuk meningkatkan kualitas sari kelapa, ia mencoba berguru ke seorang dosen Institut Pertanian Bogor (IPB). Mulanya, dosen itu enggan mengajarinya karena menilai Tri bakal kesulitan memahami bahasa ilmiah dalam pembuatan sari kelapa. “Tanpa sekolah, kamu sulit menjadi produsen sari kelapa,” kata Tri menirukan ucapan dosen kala itu.

Namun, melihat keseriusan Tri, akhirnya sang dosen pun luluh dan mau memberikan les privat setiap hari Sabtu dan Minggu selama dua bulan. Setelah melalui serangkaian uji coba dengan hasil yang bagus, Tri pun melanjutkan kembali produksi sari kelapanya. Saat itu, ia langsung memproduksi 10.000 nampan atau senilai Rp 70 juta. Hasilnya lumayan memuaskan. Beberapa perusahaan bersedia menyerap produk sari kelapanya. Sejak itu, perjalanan bisnisnya terus berkembang dan maju.

Demikian kisah motivatif tentang Tri Sumono yang membuktikan bahwa dengan ketekunan dan kerja keras pasti bisa meraih setiap apa yang di impikan dan cita-citakan. Semoga kisah di atas bisa menjadi sebuah isnpirasi bagi kita semua.

Sumber : majalahinovasi.com

Di kalangan para pedagang beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), sosok Nellys Soekidi sudah sangat populer. Memiliki lima kios dan gudang penyimpanan beras di PIBC, ia tercatat sebagai juragan beras yang cukup besar di Pasar Induk Beras Cipinang.

Selain memiliki lima kios di pasar induk, ia juga memiliki delapan toko beras lain yang tersebar di kawasan Jabodetabek. Di antaranya di Pondok Ungu, Bintara, Kalimalang, Cilodong, Depok, Bintaro, dan Cengkareng.

Nah, jika ditotal, toko beras Nellys ini ada 13 unit yang nilai asetnya mencapai Rp 7 miliar-Rp 8 miliar. Dari 13 toko yang ia beri nama Nellys Jaya itu, ia mampu menjual sebanyak 50 ton beras per hari.

Dari penjualan itu, omzet yang dikantonginya mencapai sekitar Rp 500 juta per hari atau Rp 15 miliar per bulan. Sayang, ia tak mau menyebutkan laba bersih dari berjualan beras ini. "Yang jelas untungnya sedikit tapi kontinu," ujarnya.

Sukses yang diraih Nellys tidak datang begitu saja. Terlahir dari pasangan buruh tani, ia hanya bisa menamatkan bangku sekolah menengah atas (SMA) di Ngawi, Jawa Timur.

Lantaran kondisi ekonomi orang tuanya yang lemah, ia pun memutuskan untuk merantau ke Jakarta. "Saya tamat SMA tahun 1990 dan langsung ke Jakarta," katanya.

Sama seperti kaum urban lainnya, tujuannya datang ke Jakarta untuk mengadu nasib. Tapi karena tidak memiliki keahlian, ia hanya bekerja serabutan dengan menjadi tenaga kasar di proyek-proyek bangunan.

Jika proyek sedang sepi, ia menghabiskan waktu dengan mengamen di terminal dan bus-bus kota. Sebagai pengamen, ia biasa mangkal di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. "Tapi meskipun ngamen, saya tidak pernah melakukan sesuatu yang melanggar aturan," ujarnya.

Saat mengamen inilah ia bertemu dengan seorang teman dari kampung halaman. Oleh temannya, ia diajak membantu mengelola toko beras milik bosnya di PIBC. "Itu sekitar tahun 1992," ujar Nellys.

Di toko beras tersebut, ia diperbantukan di bagian pembukuan. Tugasnya mencatat semua pengeluaran dan pemasukan toko. Meski mengemban tugas yang penting, Nellys mengaku tidak digaji secara layak oleh bosnya tersebut.

Kendati demikian, ia tetap berusaha menyisihkan hasil jerih payahnya itu sedikit demi sedikit. "Selebihnya buat makan," ujarnya.

Di luar materi, sesungguhnya ia banyak mendapat pengalaman baru. Selain mendapat pengetahuan seputar ilmu akuntansi atau pembukuan, ia juga banyak mendapat relasi para pemasok beras dari berbagai daerah, seperti Cirebon dan Garut. "Selama bekerja saya selalu berusaha jujur, dan itu dinilai oleh para pemasok beras yang menjadi mitra bos saya," ujarnya.

Pada tahun 1993, ia memutuskan berhenti bekerja dari toko tersebut. Berbekal ilmu akuntansi dan relasi yang sudah dimilikinya, ia nekat berjualan beras sendiri.

Awalnya ia berjualan di los pasar induk dengan modal hanya Rp 3 juta. "Itu hasil menabung selama bekerja," ujarnya. Kendati bermodal cekak, tapi ia mendapat dukungan dari pemasok beras yang menjadi relasinya.

MODAL NELLYS : TEKUN, JUJUR DAN LUWES BERGAUL
Berani mencoba, jujur, dan tekun menjadi kunci sukses Nelly Soekidi dalam berbisnis. Sukses yang diraihnya diawali dari keputusan untuk membuka usaha sendiri di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) tahun 1993. 

Pemilik toko Nellys Jaya ini terbantu berkat hubungan baiknya dengan relasi, seperti pelanggan maupun para pemasok beras dari berbagai daerah di Jawa Barat, seperti Cirebon dan Garut. 

Awalnya ia berjualan di los pasar induk dengan modal hanya Rp 3 juta. "Saat itu, uang sebesar itu paling cuma bisa beli beras sebanyak 1 ton," ujar Nellys.

Tapi untungnya, kendati bermodal cekak, ia banyak mendapat dukungan dari pemasok beras yang menjadi relasinya. Dalam sehari, ia bisa mendapat pasokan beras 15 ton sampai 20 ton. Saat itu, para pemasok menerapkan sistem konsinyasi. 

Dengan sistem ini, ia baru bayar setelah beras habis terjual. Kadang juga masih dikasih tempo waktu selama seminggu. Namun, berkat pergaulannya yang luwes, beras dagangannya acap habis terjual hanya dalam waktu sehari atau dua hari. "Uang hasil penjualan itu langsung saya kasih ke pemasok, jadi habis langsung saya bayar," ujarnya. 

Lantaran penjualannya cepat dan langsung dibayar, para pemasok semakin percaya terhadap Nellys. Alhasil, dalam waktu singkat, usahanya dari berjualan beras di pasar induk makin berkibar. 

Oleh Nellys, uang hasil berjualan beras itu terus ditabungnya. Tidak seperti pedagang lain yang gaya hidupnya langsung berubah ketika bisnisnya berkembang. "Saat itu banyak teman-teman pedagang yang beli mobil, tapi kalau saya hanya ditabung saja," ujarnya. 

Lambat laun uang tabungannya semakin besar. Uang tersebut dipakainya buat menambah modal usaha. Setelah empat sampai lima tahun berjualan di los, ia pun berhasil membeli sebuah kios di pasar induk. "Harganya saat itu sekitar Rp 160 juta," ujar Nellys. 

Hingga saat ini, ia telah memiliki lima toko di pasar induk. Sementara di luar pasar induk tercatat delapan toko. Total karyawannya kini sudah 34 orang. "Saya banyak menampung saudara saya sendiri," ujarnya.

Setelah usahanya semakin maju, ia pun memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Ia berpikir, pendidikan bisa membantunya mengembangkan diri. Saat itu ia mengambil jurusan manajemen di salah satu perguruan tinggi swasta. "Saat kuliah itu, saya sudah punya istri dan dua anak," ucapnya.

Ternyata terbukti, ilmu yang dipelajarinya selama kuliah turut membantunya mengembangkan karier di dunia usaha. Setelah menyelesaikan studi, ia semakin jeli melihat peluang bisnis. Bila dirasa bakal menguntungkan, ia tak ragu untuk melakukan ekspansi. 

Contohnya, saat ia melihat peluang bisnis penggilingan padi di desa-desa yang berdekatan dengan area persawahan. Nah, "Saat itu saya melihat peluang tersebut ada di daerah asal saya Ngawi, Jawa Timur," kata Nellys. Maka, di tahun 2008, ia memutuskan untuk mendirikan pabrik penggilingan padi berkapasitas 25 ton per hari.

BERALIH KE BISNIS KEBUGARAN
Setelah berkibar di bisnis beras, Nellys Soekidi tak berhenti ekspansi. Setelah mendirikan penggilingan padi di Ngawi, Jawa Timur, ia juga merambah bisnis tempat kebugaran (fitness). Di sela berbisnis, ia juga aktif di beberapa organisasi.

Setelah hampir 19 tahun berjalan, bisnis Nellys Soekidi makin berkibar. Bisnisnya dari berjualan beras kini sudah jauh lebih besar dengan nilai aset mencapai Rp 7 miliar. 

Meski sukses, Nellys tidak berpuas diri. Naluri bisnisnya tetap saja memanggilnya. Pada tahun 2008, ia memutuskan melebarkan sayap usaha dengan membangun pabrik penggilingan padi di Kecamatan Geneng, Ngawi, Jawa Timur. 

Untuk membangun pabrik berkapasitas 25 ton per hari itu, ia merogoh duit tidak kurang dari Rp 3 miliar. Pabrik yang berdiri di atas lahan seluas 4.000 meter persegi itu termasuk pabrik skala besar di Ngawi. Penggilingan beras itu dilengkapi pula dengan gudang penyimpanan beras.

Sebagai produsen besar, ia tidak mau membeli gabah langsung dari petani. "Kalau beli gabah dari petani saya akan mematikan penggilingan kecil yang ada di daerah itu," kata Nellys. 

Untuk menjaga kelangsungan usaha pabrik skala kecil itu, ia menggandeng penggilingan kecil sebagai mitra. Dalam kerja sama itu, ia membeli beras dari pabrik penggilingan padi skala kecil dan menengah di wilayah sekitar Ngawi. "Dari penggilingan kecil tersebut, beras-beras itu kemudian masuk ke gudang beras milik saya," ujar Nellys. 

Oleh Nellys, beras tersebut kemudian dipoles dengan menggunakan mesin yang lebih modern. Hasil pengolahan ini menaikkan nilai jual berasnya. "Beras itu yang saya jual ke Jakarta," ujarnya. 

Tidak hanya berorientasi laba, pendirian pabrik itu juga bisa semakin mendekatkannya dengan petani. Terlebih penggilingan beras ini juga banyak mempekerjakan petani setempat. 

Ke depan, Nellys berencana mengembangkan lagi kapasitas pabrik tersebut. "Pengembangan saya mulai dari sekarang," katanya. 

Naluri bisnisnya tidak berhenti sampai di situ. Setelah sukses mendirikan pabrik penggilingan padi, belakangan ia merambah bisnis jasa perawatan dan kebugaran tubuh dengan mendirikan tempat fitness di kawasan Pondok Kopi, Bekasi Barat. 

Sampai saat ini, anggota di tempat fitness-nya sudah mencapai 400-500 orang. Di tempat fitness ini, ia juga menjual berbagai macam produk makanan sehat, seperti susu kedelai, beras merah, dan suplemen. 

Selain sibuk berbisnis, Nellys juga punya seabrek kesibukan lain. Di sela rutinitas berbisnisnya, ia juga menjabat Ketua Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (DPD Perpadi DKI Jakarta. 

Ia mengemban jabatan itu sejak tahun 2009 lalu. Selain di Perpadi, ia juga menjabat sebagai Sekretaris Koperasi Pedagang Pasar Induk Cipinang Jakarta. 

Dengan jabatannya itu, ia terus berusaha memperbaiki kondisi pasar induk. "Selama ini pedagang pasar induk sering dicap kurang baik, dan kami ingin membuktikan bisa berbuat yang baik," ujarnya.

Dalam rangka itulah, setiap kali ada bencana di daerah, ia rajin menggalang bantuan dari para pedagang. Saat gempa Padang misalnya, pedagang pasar induk berhasil mengumpulkan bantuan empat kontainer beras. 

Begitu pun saat Gunung Merapi di Yogyakarta meletus. "Selain bantuan uang dan beras, kami mengirim relawan," ujarnya. 

Sumber : semangatwirausaha.blogspot.com

Memasarkan produk alat kesehatan jelas butuh cara tersendiri dan berbeda dari cara pemasaran produk yang massal seperti fast moving consumer goods (FMCG). Maklum, karakteristik produk dan target pasarnya berbeda. Dari sisi target pasar misalnya, kebanyakan produk alat kesehatan menyasar segmen institusi atau pasar business to business (B2B). Kemudian, biasanya tingkat pendidikan pelanggan yang disasar juga lebih tinggi – pengelola rumah sakit dan laboratorium ataukah para dokternya. Karena itu, butuh pendekatan pemasaran yang khusus.

Selama ini, produsen alat kesehatan di Indonesia umumnya tak bekerja sendirian dalam menggarap pasar. Mereka menggandeng para mitra penjualan, baik distributor, agen maupun dealer. Pasarnya begitu kompleks. Jika produsen harus mengurusi manufakturing (termasuk riset dan pengembangan/R&D) dan pemasaran sendirian, dikhawatirkan malah kelabakan dan perusahaan tak kunjung membesar. Apalagi, kenyataannya di Indonesia cukup banyak perusahaan distributor yang profesional, berpengalaman dan skala bisnisnya sudah besar, misalnya PT Graha Ismaya, PT Andini Sarana, PT Sari Murti, PT Putria Pratama, dan sederet nama lainnya.

Bila diamati, kebanyakan produsen alat kesehatan yang sukses memang melakukan sinergi dengan mitra-mitranya. Jadi tak menggarap pasar sendirian. PT Abadinusa Usahasemesta, misalnya, seperti dijelaskan Ade Tarya Hidayat, CEO perusahaan ini, untuk bisa sukses dalam memasarkan produk alat kesehatan, pihaknya menggunakan agen penjualan dan distributor. Untuk produk tensimeter, ia menggandeng PT Rajawali Nusindo (Grup RNI) yang memiliki banyak cabang di Indonesia. Cara itu cukup efektif. Kini Abadinusa sukses di pasar domestik, baik untuk tensimeter maupun stetoskop. Perusahaan ini merupakan pemimpin pasar domestik untuk produk tensimeter, dengan pangsa pasar 40%. Cara seperti ini juga dilakukan PT Shamrock Manufacturing (produsen sarung tangan/glove), dan PT Trimitra Garmedindo.

Tentu saja pola pemasaran dan distribusi alat kesehatan tak seragam, karena jenis alat kesehatan itu sendiri juga sangat beragam. Ada produk alat kesehatan yang dijual dengan target pasar end user institusi dan rumah sakit, tapi ada pula alat kesehatan yang dipasarkan langsung ke pengguna individual. Harganya pun bervariasi, dari yang hanya ratusan ribu rupiah hingga di atas Rp 10 miliar per unit.

Sudah pasti, untuk memasarkan jenis alat kesehatan dengan sasaran institusi dan rumah sakit (B2B) butuh pendekatan berbeda, kendati mereka bisa dikategorikan sebagai user. Biasanya, dalam kasus bisnis B2B, proses transaksi sangat ditentukan oleh beberapa orang pengambil keputusan di pihak pembeli dari institusi, seperti bagian pembelian ataupun keuangan – atau apa pun namanya – yang tugasnya di bidang pengadaan alat kesehatan buat lembaganya.

Harus diakui, dalam banyak kasus, sukses-tidaknya para pemasar alat kesehatan sangat ditentukan oleh kemampuannya memengaruhi para pengambil keputusan itu agar bersedia membeli atau setidaknya merekomendasi produk yang mereka tawarkan. Dalam hal ini, makna memengaruhi tidak selalu berkonotasi negatif seperti “menyogok” ataupun melakukan mark-up, tapi bisa juga dalam bentuk persuasi-persuasi rasional yang didukung argumen ilmiah dan dibenarkan secara medis.

Pemasar juga dituntut mampu melakukan edukasi kepada target pasar. Karena itu, ada baiknya pemasar mengetahui selangkah lebih maju dalam hal perkembangan teknologi kedokteran, sehingga bisa memberikan solusi yang lebih up to date kepada para user. Bahkan, pemasar juga harus bisa menjelaskan keuntungan-keuntungan yang bakal diraih dari sisi persaingan dengan rumah sakit lain bila menggunakan alat kesehatan terbaru yang ditawarkannya. Di samping itu, mereka juga harus jeli dengan tidak sekadar memasarkan produk yang sudah ada demand-nya di pasar. Melainkan memasarkan pula produk yang ke depan punya prospek bagus, kendati sekarang belum ada demand-nya. Dengan cara ini, berarti pemasar bisa membangun pasar-pasar baru yang kompetisinya lebih rendah sehingga tak perlu banting-bantingan harga. Konsep inilah yang belakangan populer dengan strategi blue ocean (samudra biru).

Kunci keberhasilan dalam pemasaran produk alat kesehatan ini terletak pada kemampuan mengedukasi dan memberi solusi. Apalagi, produknya memang lumayan mahal dan frekuensi pembelian tak sesering produk FMCG.

Jenis alat kesehatan betapapun sangat dibutuhkan pengelola rumah sakit untuk meningkatkan kemampuan pelayanan. Hanya saja, belum tentu mereka mau membelinya. Alasan utamanya apalagi kalau bukan kendala harga yang terlalu tinggi, misalnya Sebagai contoh, ketika harus memasarkan produk alat kesehatan yang per unitnya berharga miliaran rupiah seperti magnetic resonance imaging 1,5 tesla yang mencapai sekitar Rp 10 miliar. Karena itu, pemasar harus bisa menjelaskan secara detail rasio ekonomisnya dengan membeli alat itu, termasuk kemungkinan kapan balik modal (pay back period)-nya tercapai.

Dalam hal ini pemasar mesti bisa meyakinkan bahwa pembelian alat kesehatan itu harus dipandang sebagai investasi yang bakal kembali dengan menjelaskan hitungan-hitungannya. Misalnya, dengan memaparkan pengalaman rumah sakit yang telah menggunakan alat itu bahwa nilai pengembalian per rupiah investasi justru lebih besar. Jadi, di sini pekerjaan edukasi diperlukan, bahkan kalau dimungkinkan memberikan pula masukan kiat penjualan yang mengarah ke solusi, agar return on investment pembelian alat yang ditawarkan cepat terealisasi.

Selain itu, meski sasarannya B2B dan pelanggan institusi, kegiatan promosi juga harus dilakukan. Hanya saja, tak harus melalui media-media yang masif. Promosi bisa dilakukan dengan mengikuti ajang pameran alat kesehatan yang bereputasi baik. Kiat ini dilakukan Isep Gojali, pengusaha alat kesehatan yang juga Direktur Utama PT Sarandi Karya Nugraha (SKN). Isep melalui SKN, memproduksi alat kesehatan seperti timbangan badan, meja elektrik (operating table dan examination table), instrument trolley, infusion stand, kursi ginekolog, tempat tidur manual dan elektrik sampai ambulans. Dengan mengusung merek Karixa, Isep menjual produknya ke banyak titik di Indonesia.

Bahkan Karixa sudah sukses diekspor ke berbagai negara melalui pintu Singapura (pasar ASEAN) dan Dubai (wilayah Timur Tengah). “Di Belanda, nama SKN sudah cukup dikenal. Sekarang sejumlah siswa dari sebuah perguruan tinggi di Belanda dikirim untuk magang di SKN,” ungkap Isep. Nah, salah satu kiat yang mengantarkannya sukses adalah sering mengikuti pameran di mancanegara. Sebut saja, Isep tak jarang mengikuti ajang pameran yang digelar Direktorat Produktivias Departemen Tenaga Kerja dan Departemen Perdagangan.

Mengikuti ajang pameran sebenarnya tak hanya bermanfaat untuk mengenalkan produk kepada para end user, tapi juga bisa menjadi media efektif untuk mencari mitra penjualan. Sering kali dalam ajang pameran itu muncul pengunjung yang berminat untuk menjadi distributor produk tersebut di negaranya. Hal ini pula yang dialami SKN. Terlebih, dalam menggarap pasar luar negeri, SKN tak berinteraksi langsung dengan pelanggan, melainkan menggunakan pola distributorship.

Bagaimana dengan promosi melalui media above the line? Menurut Bgs. Arvidi N., GM Pharmacy Healthcare Rajawali Nusindo, promosi above the line di media umum sejauh ini belum efektif, sebab tidak langsung bersentuhan dengan konsumen. Kecuali, di media komunitas rumah sakit atau media kesehatan.

Jurus lain, karena umumnya produk alat kesehatan berharga mahal dan butuh layanan pascajual yang bagus, maka pendekatan terbaik yang dilakukan harus mengarah ke layanan kustomasi (customized service). Jadi, strategi pemasarannya juga harus one-on-one marketing. “Hal pertama dan paling wajib, melakukan pendekatan ke calon klien dengan cara mencari tahu kebutuhan mereka. Dari situ kita bisa memenuhinya dengan produk dan layanan kita,” Arvidi menuturkan.

Pendekatan ini juga terbukti sukses diimplementasi John Takili, pengusaha alat kesehatan yang juga Dirut PT Andini Sarana. Kini John sukses memproduksi dan memasarkan produk peralatan kesehatan gigi seperti semielectric chairmounted unit, full electric chairmounted unit, operating table, hospital bed, mobile dental unit, portable dental unit, electric scaler, electric micromotor, dan phantom head. Pasar ekspornya sudah cukup besar, demikian pula dengan pasar domestik. Untuk dalam negeri, ia membidik instansi pendidikan, rumah sakit swasta dan negeri, klinik, serta dokter gigi partikelir (praktik swasta). Bisnis John tak kecil. Terbukti omset bulanannya mencapai US$ 1 juta. Tentang sukses ini, menurut John, selain karena menguatkan R&D, juga melayani permintaan layanan kustomasi.

John banyak menerapkan pendekatan persuasif melalui tim pemasarannya, di samping menyediakan pula tim pelayanan perbaikan dan pemeliharaan yang sudah terlatih ke berbagai kota. Garansi satu tahun diberikan untuk tiap alat, dengan sebulan sekali waktu pemeliharaan. Untuk memuluskan pemasaran, ia menunjuk agen di kota-kota besar yang perguruan tingginya memiliki fakultas kedokteran gigi (FKG), seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, dan Makassar. Agen ini biasanya diambil dari SDM kampus FKG. Biasanya, kepada para dokter gigi muda ia lebih dulu menawarkan peralatan sederhana yang harganya terjangkau. Baru kemudian bila praktiknya berkembang, Andini menawarkan alat yang lebih canggih dan lengkap.

Rajawali Nusindo juga punya kiat tersendiri dalam meningkatkan kinerja penjualan. Seperti dituturkan Arvidi, untuk menyasar pasar B2B (seperti rumah sakit dan klinik), pihaknya memperhatikan layanan pascajual dan harga. “Kalau ada dua produk dengan harga tak beda jauh, konsumen sering memilih yang lebih mahal asal layanan pascajualnya tersedia dan bagus,” Arvidi memaparkan pengalamannya. Hanya saja, selling point Rajawali tak hanya pada harga dan layanan pascajual, tapi juga benefit alat. Menurutnya, semua calon pembeli diberi penjelasan mengenai kelebihan alatnya dibandingkan dengan alat lain, termasuk kekurangannya. “Kami melakukan edukasi. Selanjutnya terserah konsumen mau pilih mana,” imbuh Arvidi.

Selama ini ada dua cara pendekatan ke calon konsumen B2B di Rajawali: pendekatan pasif and aktif. “Pasif artinya menunggu demand, sedangkan aktif berarti meng-create demand,” tutur Arvidi. Pendekatan aktif biasanya diterapkan untuk rumah sakit swasta yang notabene memiliki keinginan lebih kuat untuk melengkapi alat kesehatannya. Sementara di kalangan rumah sakit negeri belum sebagus swasta, meski belakangan mulai ada keinginan untuk membuat rumah sakit negeri lebih kompetitif, sehingga mereka mencoba melengkapi alat-alat kesehatannya dengan cara swadana – tanpa terlalu mengandalkan subsidi pemerintah. Masih di Rajawali, untuk produk yang menyasar langsung ke end user (produk consumer), distribusi dilakukan lewat jalur etikal, dokter dan rumah sakit.

Dalam memasarkan alat kesehatan ini, isu menarik juga soal cara pembayaran. Sekarang, polanya tak hanya tunai, melainkan juga makin banyak pemasar alat kesehatan yang memberikan alternatif pembayaran dengan pola kredit. Abadinusa dan Andini Sarana juga melakukannya. Dalam kasus Andini, John Takili bekerja sama dengan bank dan besarnya kredit sangat tergantung pada plafon masing-masing bank. Ternyata pola ini juga diterapkan di Rajawali yang salah satu bisnisnya distribusi alat kesehatan. “Dengan catatan, jangka waktu pembayaran kredit 30-45 hari,” ia menandaskan.

Untuk pembayaran model kredit, Rajawali mempertimbangan plafon pembeli. “Kalau ada rumah sakit yang hanya punya 10-20 tempat tidur, tapi minta alat kesehatan seharga Rp 1 miliar, tentu menimbulkan tanda tanya. Kami akan melihat kapasitas dan kemampuan membayar calon klien,” ujar Arvidi seraya menjelaskan pola plafon berfungsi untuk membatasi risiko. Yang menarik, perusahaan ini juga memberikan alternatif pembiayaan lain, khusus untuk alat kesehatan premium. Misalnya, klien hanya membayar 50% harga alat, 50% sisanya diperhitungkan dengan pola sewa. Atau bisa membayar 50% saja dan sisanya disubsidi dari pembelian produk-produk lain yang harganya murah. Menurut Arvidi, selama ini sistem sewa sudah biasa dilakukan, terutama untuk klien swasta. “Rumah sakit swasta lebih jeli dibanding rumah sakit pemerintah, khususnya dalam melakukan hitungan-hitungan bisnis,” kata Arvidi. Di Rajawali, kontribusi bisnis model sewa cukup besar sebab mampu menyumbang 20% dari total omsetnya.

Darmadi Durianto, pengamat pemasaran, menjelaskan, pasar B2B alat kesehatan sangat berbeda dari pasar produk consumer, terutama dalam hal, antara lain, frekeunsi pembeliannya lebih sedikit, nilai pembeliannya dalam jumlah besar dan hubungan pemasok-pelanggan erat. “Karena itu, menjalankan strategi relationship marketing merupakan hal yang tepat,” ujar Darmadi. Selain itu, harus bisa mengetahui siapa peserta utama di pasar institusi yang berpengaruh terhadap keputusan pembelian. Pemasar harus tahu apa saja keputusan mereka, seberapa besar level pengaruhnya, kriteria evaluasi apa yang mereka gunakan, dan mereka berorientasi pada harga ataukah kualitas. Dalam hal ini pemasar harus mempertajam strategi relationship marketing dengan meningkatkan level manfaat finansial, manfaat sosial, dan ikatan struktural dengan pelanggan.

Sumber : swa.co.id