Rabu, 24 April 2013


Kebetulan, demikian jawab banyak entrepreneur sukses saat ditanya mengenai apa yang menyebabkan ia bisa terjun dan berhasil dalam apa yang dikerjakannya sekarang. Betulkah kesuksesan hanya sebuah rentetan kebetulan belaka? Tentu tidak. Kiki Gumelar, misalnya. Ia adalah salah satu contoh nyata bagaimana ‘kebetulan’adalah sebuah akumulasi dari sikap dan pola pikir yang positif yang terbangun secara sengaja. Kini ia menjadi entrepreneur sukses dengan skala usaha yang makin menggurita.

Awalnya waktu itu Kiki, sapaan akrabnya, masih bekerja di Yogyakarta. Ia memasukkan dodol dalam coklat dengan niat iseng saat ortu berkunjung ke kosnya. Dodol itu ternyata enak setelah masuk lelehan coklat cair.

Kiki pun memutuskan untuk pulang kampung tetapi tak mau menjadi pengusaha dodol. Ia beralasan, “Sudah banyak orang berjualan dodol di Garut kampung halaman saya. Mana mungkin saya pulang hanya untuk menambah banyak jumlah pengusaha dodol di sana?” Kiki bertekad untuk membuat dodol buatannya lebih unik dan menggabungkannya dengan promosi pariwisata kabupaten Garut sehingga memiliki keunikan tersendiri dari pembuat dodol lainnya.

Karena gemar makan coklat, Kiki memilih coklat karena Indonesia adalah negara produsen coklat ketiga terbesar di dunia dan lahir industri  coklat terbesar di Asia Pasifik seperti Ceres yang lahirnya di Garut. Garut juga dikenal sebagai Swiss van Java. “Swiss saja bisa terkenal karena coklat kenapa Garut tidak?” tutur Kiki. Alasan lain mengapa ia memilih dodol sebagai makanan untuk digabungkan dengan coklat ialah karena ia kelahiran Garut. Keluar dari zona nyaman

Kiki mengakui pernah berada di zona nyaman karyawan. “Tapi banyak tekanan saat bekerja di Yogyakarta dan lalu saya memutuskan pulang kampung,” terang Kiki. Visinya sederhana, ia ingin bisa Mandiri dan menggaji orang.

Titik balik dalam kehidupannya dimulai saat ia harus mengalami masalah rumah tangga. Ia pun memutuskan kembali ke Garut untuk memulai kehidupan dari nol.

Untuk memulai dari nol ini, Kiki Gumelar menghadapi tantangan. “Gaji numpang lewat sehingga saat ke Garut saya tak punya pilihan lain selain meminta bantuan dana dari ortu.

Akhirnya saya mendapatkan bantuan dana dari kartu kredit ibu karena keuangan keluarga masih harus dialokasikan untuk adik-adik yang kuliah,” ujar Kiki.

Tentangan dari ortu setelah bekerja tetap selama 7 tahun juga ia dapatkan. Orang tuanya bertanya, “Mengapa mau berjualan coklat di Garut. Kan Garut kota kecil?” Toh ia bertekad jalan terus dan yakin bahwa ide bisnisnya itu akan berhasil.

Ia dengan gigih tawarkan produknya ke sejumlah toko di Garut. “Hanya 4 toko yang mau membeli. Modal 17 juta dari kartu kredit ibu saya ini digunakan untuk membuat berbagai produk coklat, cochodot, coklat isi dodol dulu. Prosesnya 1 bulan hingga matang untuk dipasarkan. Pertama produksi 200 kg saja. 2000 batang,” ia menjelaskan dengan detil.

Kampanye marketingnya dilakukan dengan memperkenalkan dummy dan sampel sehingga mendorong munculnya pesanan atau order. Setelah mulai dijual, ada respon yang makin bertambah hingga sekarang perusahaan kiki bisa menghasilkan 20 ton dalam satu bulan. Tentu ia makin bersemangat saja.
Branding

Kiki mengatakan, “Added valuenya dalam produk kami ialah keunikan, kreativitas, penamaan. Awalnya “Chocodot”, coklat with dodol Garut, kini berkembang pula berbagai varian lain seperti coklat van Jawa yang ditambahi cabai, kayu manis, dan sebagainya,” jawabnya sembari menerangkan perkembangan produknya.

Desain kemasan dibuat oleh tim desain khusus dengan standar internasional karena menyasar wisatawan internasional. Untuk wisatawan di Bali, ada varian tersendiri: "Bali Cantik Coklat". "Mechok", atau melayu coklat, ialah varian lainnya yang dijual khusus di sekitar Batam yang terkenal dengan potensi buah naga yang melimpah ruah. Inilah kiat suksesnya merambah daerah lain, yakni pintar-pintar memilah potensi lokal yang bisa dikombinasikan dengan produk awalnya. “Sesuaikan produk dengan karakter daerah yang akan dipasarkan itu penting,” ia membuka rahasia. Dengan kata lain, kunci membuat bisnis baginya adalah dengan menambahkan local wisdom.

Tak hanya itu Kiki juga menambahkan kopi dan teh sebagai kekayaan bangsa dalam coklat. Ia juga berusaha mengerti karakter konsumen yang lebih sadar hidup sehat dengan membuat coklat yang bebas gula Lihat saja “Cokor” (Coklat Korma) yang dipasarkan di Saudi Arabia. “Sudah ada pesanan ke Arab,” ujarnya dengan bangga.

Untuk pangsa pasar anak muda dan socialite di Indonesia, istilah galau terkenal dan Kiki mengangkat ini dalam produknya. “Untuk pasar di Jakarta yang terkenal sebagai tempat yang penuh dengan stres dan kebosanan akibat kemacetan, dirilis produk coklat dengan nama Coklat Obat Stress. Orang Jakarta yang sering stres bisa makan ini untuk melupakan stres yang mereka alami,” demikian kata Kiki.

Tak cuma nama yang unik, Kiki juga memberikan konten berupa fakta nutrisi produk yang bukan bersifat informatif tetapi untuk semata-mata menghibur konsumen: “Tenang 100%, senang 100%, sabar 100%, kalori nikmatin aja”. Dalam produknya “Coklat Tolak Miskin” ia mengaku ‘membidik’ pembeli yang ingin menjadi entrepreneur, dan masih banyak lagi varian lainnya yang memiliki nama-nama yang sangat unik
Menang packaging taraf internasional.

Di Milan, Italia, Kiki diminta Kedubes RI untuk mengikuti kompetisi produk makan nasional berbasis tradisional dan mengirimkan produk ke sana. Ia menyabet gelar juara pertama karena kemasan besek yang dibuat oleh perajin di dua desa di kecamatan Samarang, Garut, Jabar, yang tergolong inovatif, unik dan ramah lingkungan. “Added valuenya ialah mengangkat kerajinan besek khas Indonesia menjadi kemasan coklat yang unik. Beseknya kecil dan berisi coklat,” tuturnya singkat.

Meski banyak yang sukses, tak semua produk dari buah pikiran Kiki meraih sukses seperti Chocodot. Produk gagal juga ada, seperti coklat yang dicampur dengan singkong. Ini karena coklat yang dikombinasikan dengan singkong perlu sama kuat dalam rasa. Satu resep rahasianya bagi pengusaha kuliner yang ingin berkreasi meggabungkan dua bahan makanan ialah jika salah satu unsur lebih kuat, akan peluang untuk dirilis lebih kecil. Dalam kasus ini, rasa coklat lebih dominan dibandingkan dengan singkong.

Sumber :  bisnisusaha.blogspot.com

0 komentar :

Posting Komentar