Selasa, 23 April 2013


Saat masa kanak-kanak, tanpa disadari, Anda mungkin pernah memikirkan atau mengucapkan ingin menjadi apa. Boleh jadi Anda sudah menentukan pilihan profesi dengan kejujuran bukan karena desakan orang lain saat masih belia. Meski seiring perjalanan waktu, cita-cita terpendam itu sempat beralih atau bahkan semakin menjauh dari kenyataan.
Perias pengantin berusia 25, Ristya Stefanie mengalaminya. Perempuan asal Surabaya ini mengaku pernah mengucapkan ingin berwirausaha saat masih belia. Meski boleh jadi saat itu ia belum mengerti apa itu wirausaha dan ingin berwirausaha di bidang apa. Namun ucapan itu menjadi nyata, karena kini cita-citanya menjadi entrepreneur terwujud. Sejak usia 13, perempuan yang akrab disapa Tya memulai perjalanannya sebagai entrepreneur dengan keahliannya sebagai penata rias wajah.
Saat itu, menggunakan make upibunya, Tya menawarkan diri merias teman-teman dekatnya untuk berbagai keperluan. “Saya merias teman-teman yang ingin tampil di acara pertunjukkan 17 Agustus atau mereka yang butuh make up untuk acara lainnya. Modalnya, alat make up ibu saya. Tapi, setelah mendapatkan bayaran dari teman-teman, saat itu sekitar tahun 2000 saya menerima uang jasa rias wajah Rp 15.000 per orang. Dengan total empat orang, saya mendapatkan uang Rp 60.000 untuk pertama kalinya dari merias wajah dan membeli alat make up darinya.
Keterampilan Tya dalam merias wajah mendapatkan apresiasi positif dari orang-orang terdekatnya. Kemahirannya semakin terasah saat Tya mengeyam pendidikan S-1 Komunikasi di Universitas Petra. Sambil kuliah, perempuan kelahiran Surabaya, 15 September 1986 ini pun memberanikan diri merintis bisnis make up wedding. Belum juga meraih gelar sarjana, Tya memutuskan mendirikan Ristya Stefanie Make Up & Wedding Design pada 2005, di usia 19.

Tak mudah bagi perempuan muda untuk terjun ke bisnis tata rias pengantin. Seperti Tya yang mengalami penolakan dan diskriminasi. Meski terbukti sukses mempercantik perempuan dan memahami seluk beluk make up, namun ketika memutuskan terjun ke industri dan bisnis tata rias pengantin, keterampilan yang didapatkan secara otodidak menjadi pertimbangan banyak orang. Diskriminasi kerap dialami Tya karena usia muda dan keterampilan make up didapatinya tanpa berbekal ijazah sekolah tata rias profesional.
“Saat mengikuti kompetisi, menurut saya penata rias wajah yang belajar otodidak menjadi prioritas ke sekian meskipun ia mampu menciptakan make up yang baik. Saya pernah menang di kompetisi tingkat nasional, namun saya merasakan adanya perbedaan perlakuan dan saya melihat banyak peserta lain yang belajar make up otodidak memiliki keterampilan yang baik, namun kalah bersaing dengan peserta lulusan kursus atau sekolah make up dengan keterampilan make up biasa saja,” jelasnya.
Tak hanya itu, Tya juga pernah dipilih sebagai penata rias pengantin sebuah keluarga di Surabaya, lantaran hasil riasannya dianggap memenuhi selera. Namun ketika tahu, usianya masih muda dan masih kuliah, keluarga tersebut membatalkan begitu saja lantaran tak percaya perempuan seusianya mampu menangani riasan pernikahan.
Tya memang belum memiliki jam terbang tinggi lantaran usianya pun masih muda. Namun, bukan berarti anak muda tak memiliki keunggulan. Usia muda bukan berarti kemampuan dan keterampilan serta kualitas personal patut dipertanyakan atau bahkan diragukan. Alih-alih berpikir negatif atas berbagai penolakan yang diterimanya, Tya justru memompakan semangat ke dalam dirinya untuk terus menjalankan bisnisnya.
“Legowo, sudah itu saja yang saya lakukan,” kata Tya yang juga mahir merancang kebaya dan kini mengembangkan kemampuannya merancang gaun pengantin bergaya internasional menggunakan batik.
Berbekal pengalaman, Tya konsisten mengembangkan usahanya dan menjadi pebisnis  yang diperhitungkan industri tata rias dan busana pengantin modern, berbasis di Pondok Chandra Surabaya, Jawa Timur.
“Saya lebih suka menjadi owner ketimbang menjadi pegawai,” aku Tya yang mematok biaya jasa rias pengantin Rp 15 juta khusus make up, atau Rp 42,5 juta untuk satu paket tata rias dan busana pengantin.

Sumber : nasional.kompas.com

0 komentar :

Posting Komentar