Beni Sukarsa (66 tahun) adalah salah satu pengusaha kerajinan gerabah di Bandung. Ia tergolong seorang pengusaha sukses di bidang usaha kreatif. Studio kerja Beni berada di taman belakang rumahnya di Jalan Hegarsari, Bandung. Studio tersebut tidak berpintu. Di bagian depan sebelah kanan terdapat sebuah tungku pembakaran, di sebelah kanan terdapat beberapa contoh keramik berbentuk rumah yang berfungsi sebagai kap lampu taman. Masuk lebih dalam ke studionya terdapat rak-rak yang menyimpan keramik-keramik yang sudah dibentuk dan siap dikoreksi sebelum dibakar. Rak ditutupi oleh plastik agar keramik tidak mudah kering sehingga mudah diperbaiki jika terjadi kesalahan bentuk.
Di depan rak berisi keramik yang siap dikoreksi terdapat meja. Di meja tersebut banyak burung mendarat. Burung tersebut, lagi-lagi hanya keramik. Selain meja penuh burung, ada juga meja tempat kerja para pegawai Beni. Di sekeliling meja terdapat rak yang dipenuhi pencetak keramik dan tanah-tanah liat sebagai bahan baku. DI studio tersebut Beni biasa membuat model keramik terbaru. Beni mengkhususkan diri membuat keramik berjenis gerabah yang merupakan jenis keramik dengan suhu pembakaran rendah. Sementara keramik dengan suhu pembakaran tinggi disebut porselen.
Gerabah karya Beni punya ciri khas. Sebagian besar merupakan gerabah berbentuk binatang yang disederhanakan. Ada bebek, ayam, kuda, ikan, anjing, burung, dan lainnya. Meskipun bentuknya sangat sederhana, tetapi menarik dan berseni. Untuk memberi sentuhan seni, Beni tidak dapat menyerahkan semua pengerjaan gerabah-gerabahnya pada pegawai. Itu sebabnya Beni masih sering turun untuk mengoreksi pekerjaan pegawainya. Dengan demikian, lekuk-lekuk tubuh dan ornamen gerabahnya tetap terkesan lentur dan menarik. Sejak kecil Beni sudah terlatih meniru bentuk berbagai benda, terutama meniru bentuk binatang. Saat usianya sekitar 11 tahun, Beni memiliki tugas membantu ibunya membuat kue. Ibu Beni memiliki toko kue di Jalan RE Martadinata Bandung.
Tugas Beni ketika itu membentuk kue petit fleur (bunga kecil-bahasa Perancis) yang terbuat dari campuran gula dan kacang. Kue tersebut biasanya dibentuk mirip buah-buahan. Tetapi Beni lebih suka membentuknya seperti binatang. Selepas sekolah menengah atas pada tahun 1960, Beni meneruskan pendidikan ke jurusan Seni Keramik, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD), Institut Teknologi Bandung. Pada tahun 1966 terjadi transisi pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Keadaan perpolitikan di negeri ini memengaruhi dunia pendidikan. Kegiatan belajar di Kampus ITB sempat terhenti selama dua tahun.
Oleh karena itu Beni menyelesaikan pendidikan di FSRD ITB selama delapan tahun. Tahun 1969 ia bekerja sebagai asisten dosen di almamaternya. Saat itulah Beni bertemu Lana Marcella Wuwungan, mahasiswi yang kemudian menjadi istrinya. Selanjutnya Beni megikuti program kerja sama Indonesia dan Belanda hingga tahun 1972. Di Belanda ia banyak belajar tentang keramik dari beragam praktik kerja yang diikutinya. Sepulang dari Belanda, Beni bekerja di Balai Besar Industri Keramik, Dinas Perindustrian Kota Bandung. Selama bekerja di instansi pemerintah, Beni banyak berkeliling ke sentra-sentra keramik di berbagai pulau di Indonesia, antara lain Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Ambon. Pada tahun 1978 dia juga pernah mempelajari keramik di Jepang.
Beni mempelajari gerabah Haniwa yang memiliki desain sederhana, namun karena nilai seninya tinggi, harganya pun mahal. Saat itu gerabah-gerabah dengan tinggi 10 sentimeter dihargai 15 dollar Amerika Serikat. "Waktu itu saya pikir, kenapa tidak membuat gerabah saja. Selain saya punya kemampuan membuat dan mendesain keramik, gerabah disukai orang di luar negeri. Pasar gerabah di luar negeri sangat terbuka," kata Beni. Negara yang banyak memiliki peminat gerabah di antaranya Australia, Eropa, dan Amerika Serikat. "Jadi jangan berpikir bahwa gerabah itu hanya gentong, genteng, dan bata. Bentuk gerabah bisa macam-macam dan cara pembuatannya lebih sederhana karena hanya membutuhkan tungku sederhana yang suhunya tidak perlu tinggi," kata Beni.
Berbeda dengan keramik bersuhu pembakaran tinggi, biaya produksi gerabah pun jauh lebih murah. "Untuk membuat porselen dibutuhkan glasir untuk mengkilatkan dan memberi efek kaca pada keramik. Tetapi glasir yang bagus harganya mahal karena masih produk impor. Sementara glasir lokal memberi hasil yang kurang baik," tutur Beni. "Daripada membuat porselen yang kualitasnya tidak terlalu baik dan biayanya tinggi, lebih baik membuat gerabah sederhana tetapi menarik," ujarnya.
Beni yang sejak kuliah sudah hobi membuat keramik dan ikut pameran, membuka bisnis gerabah di rumahnya. Namun, ia tetap bekerja sebagai pegawai negeri. Untuk mempromosikan gerabah-gerabahnya, Beni rajin mengikuti pameran di berbagai kota dan negara. Gerabah Beni mulai dikenal masyarakat. Dari pameran tersebut Beni berkenalan dengan komunitas penggemar barang-barang keramik. Beberapa arsitek menggunakan gerabah-gerabah Beni untuk mempercantik bangunan yang dibuatnya. Beni pun ikut Himpunan Keramik Indonesia.
Gerabah Beni dikenal dengan nama Beni’s Ceramic. Keramiknya sering dipesan oleh berbagai keluarga pejabat di Indonesia. Nyonya Adam Malik dan Hartini Soekarno misalnya, merupakan dua kolektor gerabah karya Beni. Beberapa ekspatriat di Bandung pun banyak yang tergiur memiliki dan mempelajari cara membuat gerabah di studio Beni. Sebelum krisis moneter, studio Beni yang luasnya hanya sekitar 50 meter persegi itu selalu dipenuhi ekspatriat untuk belajar membuat keramik. Setelah peristiwa kerusuhan sosial tahun 1998, ekspatriat yang menjadi murid-murid Beni banyak yang kembali ke negeri asalnya. Akibatnya, kursus membuat keramik Beni pun sepi kembali. Meskipun demikian, masih banyak pelanggan yang sengaja membeli gerabahnya untuk dijual ke luar negeri.
Gerabah buatan Beni juga banyak dipakai di beberapa hotel dan restoran di sekitar Jakarta, Bogor, dan Bandung. Selain itu, banyak juga yang membeli gerabahnya untuk dijual kembali di galeri-galeri seni di Jakarta dan Bandung. Pembeli yang ingin membeli langsung di studionya pun boleh. DI studionya, Beni memiliki dua pekerja yang bertugas mencetak tanah-tanah merah. Namun di Majalengka, Beni juga mempekerjakan dua keluarga untuk membuat gerabah berupa gentong atau pot bunga. Keluarga tersebut diberi bahan dan tungku. Memilih Majalengka karena alasan bahan tanah liat di daerah tersebut bagus untuk keramik.
Beni melakukan pekerjaannya lebih karena ingin menyalurkan hobi. Karenanya, ia tidak terlalu berorientasi keuntungan dari bisnisnya. Gerabah produksinya ada yang berharga Rp 10.000, ada pula yang sampai jutaan rupiah, tergantung ukuran dan kreasinya. Hobi Beni dalam membuat keramik juga memantapkan hobi istrinya, Lana. Lana yang senang berkebun dan menata tanaman sering kali dimintai bantuannya untuk menata letak gerabah di rumah pelanggan yang membelinya. Penempatan gerabah yang tepat akan mempercantik sebuah bangunan. Tetapi jika keliru, penempatan gerabah akan merusak pemandangan di sekitarnya.
Sumber : ferry2.blogspot.com
0 komentar :
Posting Komentar