Hidup adalah ujian. Setiap episodenya adalah tes yang ketika bisa dilalui menandakan bahwa seseorang telah naik kelas. Yudi Ardian bukan hanya naik kelas melewati perjalanan hidupnya. la juga menaikkan kelas warung tendanya menjadi restoran ampuh menjadikan seseorang lebih tabah dan ‘tahan banting’. Seperti yang dialami Yudi Adrian, putra ke-5 dari 6 bersaudara yang dibesarkan dalam keluarga berkecukupan. Ketika ayahnya jatuh sakit, Yudi kehilangan tempat bergantung dan mulai bekerja serabutan untuk membiayai kuliahnya yang baru ditempuh setengah jalan. Pekerjaan sebagai tukang masak di restoran sampai menjadi sopir mobil travel pernah dilakoninya tanpa rasa gengsi.
Akhinnya, bermodal uang pinjaman Rp12 juta yang diperoleh dari seorang kakak, pada 7 September 2008 Yudi membuka warung seafood di kota Padang. Meski awalinya penuh perjuangan keras untuk merebut hali pelanggan, semua itu dilaluinya dengan penuh ketekunan dan sikap pantang menyerah. Kini, usahanya nnulai berbuah. Hanya dalam tempo kurang dari dua tahun, omzet bisnisnya sudah mencapai Rpl,5-2,5 juta per malam dengan keuntungan bersih Rp126 juta per tahun. Tempatnya pun tidak lagi di warung tends, melainkan di sebuah restoran yang berlokasi di ruko.
Benar kata orang, roda kehidupan selalu berputar. Kita tidak pernah tahu kapan akan berada di atas, atau sebaliknya, terpuruk di bawah. Yudi mengalami hal ini ketika masih kuliah tahun pertama di Universitas Bung Halta, Padang. Ketika itu ia mesti menghadapi kenyataan pahit. Kehidupannya yang nyaman sebagai anak kuliahan dari keluarga berada berakhir ketika ayahnya, Zainal Abidin, terserang stroke. Tubuhnya lumpuh sehingga terpaksa dipensiunkan dari jabatannya di sebuah perusahaan migas terbesar di Riau.
Pantang menyerah. Meski sempat ditinggakan pegawai dan kehilangan seluruh uang tabungannya, Yudi selalu mampu bangkit lagi dan menjalankan warungnya seperti sediakala.
Masa-masa ‘bulan madu’ sebagai mahasiswa di tanah rantau pun mesti berakhir. “Kebiasaan menghamburkan uang dan kuliah sekadar main-main tidak bisa diteruskan. Saya tidak mungkin lagi minta uang kepada orangtua,” kenangnya. Boro-boro mencukupi biaya hidup di perantauan, uang hasil jerih payah ayahnya selama bekerja pun ludes untuk biaya pengobatan yang tak kunjung membuahkan hasil.
Ketika pulang ke kampung halamannya di Duri, Yudi amat terpukul mendapati kondisi ayah dan keluarganya yang memprihalinkan. Di satu sisi, ia bersyukur karena masih bisa kuliah, padahal banyak orang lain yang hanya bisa bermimpi. Di sisi lain, ia tak kuasa menahan sedih karena telah merepotkan orangtua dan tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu mereka.
Setelah beberapa lama bersama keluarga di Duri, Yudi memutuskan kembali ke Padang. “Di kota itu, saya kembali mencari jati diri dan berusaha terus memperbaiki diri,” katanya. Yudi pun menjalani kuliah dengan semangat baru. Prestasi belajarnya melonjak, Walau ia biasa bergelimang kemewahan—seperti juga sebagian besar teman-temannya—ia merasa bersalah bila orangtuanya yang sedang susah, masih harus menanggung biaya hidupnya. Namun, kondisi keuangan yang tidak menentu dan terus-menerus hanya menanti kiriman uang dari ibunda, Yusmarni, membuat Yudi menjadi tidak enak hati.
Namun, esensi hidup bukanlah soal bagaimana seseorang ketika terpuruk, tapi seberapa cepat dia bangkit kembali. Demikian pula halnya Yudi, kelahiran 1985 ini. Di halinya tumbuh kesadaran lain. Yudi berpikir keras untuk mencari uang sendiri sembari tetap kuliah. Di usianya yang ke-22, Yudi mendapat kesempatan bekerja sebagai sopir mobil travel. Penghasilannya terbilang cukup untuk membiayai hidupnya. Sayang, profesi baru ini amat memakan waktu dan tenaga sehingga kuliahnya terganggu. Padahal, ia ingin menuntaskan kuliahnya tepat waktu.
Setiap liburan tiba, Yudi pulang menengok keluarganya di Duri. Keadaan rumah tak jua membaik. Kondisi ini memicunya untuk mencari jalan keluar. Di tengah kegalauan itu, tiba-tiba saja tebersit keinginan untuk membuka usaha makanan, berbekal pengalaman bekerja paruh waktu di sebuah restoran seafood. “Saya ingin usaha di bidang yang saya tahu, supaya bisa ikut mengelolanya,” ucapnya.
Bagi Yudi, mempunyai usaha sendiri jauh lebih baik daripada bekerja pada orang lain. “Dengan memiliki usaha sendiri, saya akan menjadi lebih bertanggung jawab. Di tangan sayalah sukses atau gagalnya usaha tersebut. Saya juga mesti bertanggung jawab terhadap kebutuhan karyawan,” kata Yudi. Ditambahkan, menjadi pengusaha juga tidak ada limit penghasilannya. Tidak seperti pegawai, yang gajinya mentok pada angka tertentu.
Tak membuang waktu, ia segera menemui salah seorang kakaknya yang memiliki kehidupan lumayan mapan. Tujuannya tentu saja ingin meminjam modal. Ide untuk membuka usaha sendiri, ternyata tidak mudah juga untuk direalisasikan. “Keluarga menentang keinginan saya. Mungkin karena menganggap saya anak manja yang tidak tahu apa-apa, tak satu pun anggota keluarga yang mendukung,” kenangnya. Tentangan dari keluarga tidak membuatnya patah semangat, justru menguatkan keinginannya untuk segera mewujudkan cita-citanya.
Keseriusan dan kesungguhan niat Yudi akhirnya meluluhkan hali kakaknya, Yuni Fitriani. la meluluskan permintaan Yudi. Berbekal dana Rp12 juta hasil pinjaman itulah Yudi memberanikan diri membuka warung tenda dan menjajakan berbagai menu seafood. Kota Padang menjadi pilihan lokasi usahanya. “Selain dekat dengan kampus, peluangnya juga lebih besar. Di sang juga belum banyak orang yang menjual hidangan seafood,” katanya.
Minimnya pengalaman tak ayal lagi membuat Yudi jatuh bangun menghadapi berbagai hambatan. “Membuka usaha ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan,” ungkapnya. Banyak kendala ia temui. Maklum, ilmu bisnis tak pernah dia dapatkan di bangku kuliah. Jurusan yang diambilnya di kampus tak bersinggungan dengan dunia bisnis, yaitu Hukum Internasional, Yudi menyiasatinya dengan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin.
Cukup sulit untuk menemukan lokasi yang pas, yaitu area yang dilintasi banyak kendaraan dan cukup nyaman untuk makan. Setelah berkeliling kota, akhirnya ia memutuskan untuk membuka Usahanya di Jalan Jhoni Anwar Lapai-Padang. Seluruh persiapan tersebut dilakukannya dalam waktu satu bulan.
Pada 7 September 2008, sebuah warung tenda berukuran 4 x 4 meter dengan spanduk bertuliskan Mutiara Jaya Seafood di pinggir jalan, resmi dibuka. Dibantu seorang sepupu dan dua orang teman, Yudi mulai menunggui warung tenda yang dibukanya sejak pukul 4 sore hingga pukul 1 dini hari. Spesialisasinya adalah bermacam hidangan laut dengan harga terjangkau.
Yudi memiliki harapan benar warungnya akan ramai di hari pertama buka. Namun, kenyataan berkata lain. Kesabarannya benar-benar diuji. Bagaimana tidak, dari sore hingga dini hari, hanya tiga orang yang makan di warungnya. Uang yang diperolehnya saat itu hanya Rp50 ribu. “Kondisi ini sempat membuat saya down. Kok, bisa ya sepi seperti itu?” kenangnya. Semangat Yudi yang awalnya menggebu langsung susut. “Karena masih sisa banyak sekali, nasi yang sudah kami masak waktu itu akhirnya diberikan kepada pemilik tanah yang saya kontrak,” kata Yudi mengenang masa pahitnya.
Hari ini sepi, besok pasti ramai, begitu harapannya setiap hari. Namun lagi-lagi, tidak ada perubahan yang berarti pada warungnya. Dari hari ke hari, jumlah tamu tak kunjung naik. Kondisi sepi ini sertahan sampai tiga bulan pertama. Pemasukan yang didapat dari warung benar-benar tidak sebanding dengan pengeluaran. Sering kali, pendapatan harian tidak cukup untuk mengembalikan modal belanja. Kondisi Yudi sertambah rumit ketika salah seorang teman yang membantunya tidak lagi sanggup bertahan dan memilih hengkang.
Berada di bawah tekanan membuat Yudi tergoda untuk menyerah dan menutup warungnya. Apalagi ia sempat jatuh pingsan dan dirawat selama dua hari di rumah sakit karena kelelahan. Tetapi, rasa tanggung jawab membuatnya memaksakan diri untuk berusaha lebih keras. Alih-alih tutup warung, ia memutar otak untuk membuat warungnya berdenyut.
Aktif berpromosi. Ketika warungnya sepi, Yudi berinisiatif mempromosikan usahanya ke berbagai penjuru. Termasuk meminta bantuan dari teman-temannya untuk mengabarkan usaha warung tendanya dari mulut ke mulut.
Gagasan baru pun muncul, yaitu mengubah pola promosi. “Jika sebelumnya saya pasif menanti tamu, waktu itu saya coba mengubah pola berjualan dan mulai mengakrabkan diri dengan pembeli. Saya bahkan turut mengerahkan teman-teman di kampus untuk mempromosikan warung saya,” cerita Yudi. “Saya juga mengubah cara kami mempersiapkan hidangan. Dulu terkesan bersembunyi, sekarang kami memasak di depan tamu sehingga ketika menunggu makanan pun tamu dapat menikmati atraksi yang tidak setiap hari mereka dapatkan.”
Selain itu, Yudi pun membuat variasi menu. Dipromosikanlah menu andalan warung tendanya–Kepiting Saus Pedas Thai Tom Yam. Jalan yang ditempuh Yudi membuahkan hasil. Dalam waktu lima bulan, senyumnya melebar melihat jumlah pengunjung yang merangkak naik. Pelan tapi pasti, penghasilan warung pun ikut meningkat. Sejalan dengan itu, beberapa hal dibenahi, termasuk manajemen keuangan warung. Dampaknya sangat terasa ketika semuanya telah berjalan pada jalur yang benar. Tak menunggu waktu lama, penghasilan meningkat pesat. Bahkan untuk melayani pembeli yang setiap malam kian ramai, ia menambah jumlah pekerja. Tahun 2009, Yudi sudah mempekerjakan 7 orang di warungnya.
Tuhan rupanya belum berhenti menguji Yudi. Kesuksesan membutuhkan banyak perjuangan. Baru bernapas lega karena warungnya berjalan sangat baik, ia mengalami musibah. “Sepulang dari Air Bangis untuk menjemput kepiting dan bahan baku makanan laut, mobil yang saya tumpangi bersama tiga orang teman menabrak orang yang sedang mengendarai sepeda motor, hingga ia mengalami lumpuh di bagian kaki,” Yudi berkisah.
Singkat cerita, uang simpanan yang terkumpul selama 1 tahun berjualan terpaksa digunakan untuk menyelesaikan semua persoalan, mulai dari rumah sakit, perbaikan mobil, sampai kantor polisi. “Di ujung hari, uang yang tersisa tinggal sedikit, hanya cukup untuk modal awal jualan saja,” kata Yudi.
Dengan kondisi fisik yang masih trauma, Yudi membuka lagi warungnya. Tak disangka, setelah kejadian itu warungnya semakin ramai saja. Tak henti-hentinya Yudi mengucap syukur, betapa Tuhan selalu punya rendana terbaik untuk umatnya.
Nasibnya kembali benderang ketika terpilih menjadi salah satu peserta kontes Wirausaha Mucla Mandiri dari Bank Mandiri. Bulan November, Yudi mendapat panggilan untuk mengikuti babak penyisihan di Palembang. Saat itu ia berhasil keluar sebagai juara I tingkat wilayah. Air mata bahagia ibunya dan senyum bangga di bibir ayahnya menyambut Yudi sepulang dari Palembang. “Saya terharu sekali melihatnya. Orangtua saya mengaku tidak pernah menyangka kalau anaknya yang manja ini bisa meraih sukses,” kenang Yudi.
Keberhasilan “menaklukkan” kota pempek ini membuat Yudi semakin percaya diri menjalankan bisnisnya. Pada Januari 2010, ia pun maju ke tingkat nasional, yang kegiatannya diadakan di ibu kota, Jakarta. “Di sini saya mendapat saingan yang cukup hebat dari semua daerah,” katanya. Meski tidak mendapatkan peringkat di Jakarta, tapi ia mengaku bangga karena mendapatkan perjalanan luar biasa yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. “Banyak ilmu dan wawasan yang saya peroleh dari teman-teman peserta sesama wirausahawan,” katanya. Dari pengalaman orang lain, ia bisa belajar bahwa setiap usaha memiliki rintangan yang berbeda. Namun, kunci keberhasilan hanya satu, yaitu ketekunan.
Inovatif. Selain membuat variasi menu dan memasak di depan tamu, Yudi juga merandang sistem keanggotaan dan menawarkan diskon pada hari-hari tertentu untuk menarik pelanggan.
Untuk mengembangkan usahanya, Yudi mendapat pinjaman modal usaha dari Bank Mandiri. Warungnya pun semakin dikenal oleh masyarakat Padang. Apalagi salah satu strateginya adalah membuat sistem keanggotaan (membership). Pada hari-hari tertentu, seorang member dapat memperoleh diskon hingga 50 persen. Sungguh sebuah cara marketing yang jarang ditemukan di Padang. la pun berhasil mengubah nasib dan warung tenda pinggir jalan itu `naik kelas’ menjadi restoran mini di sebuah ruko yang terletak di depan warung lama.
Sekarang, kesuksesan telah berhasil dipetik. semua itu dicapai Yudi dari keringat dan jerih payahnya. sebagai bentuk terima kasih pada orangtua, sebagian dari keuntungan warung ia gunakan untuk mengobati penyakit ayahnya dan menopang perekonomian keluarga.
Yudi pun tak lagi cemas memikirkan cara membayar SPP kuliah dan membiayai kehidupannya sehari-hari. Sambil terus berjuang menyelesaikan kuliah yang sempat terlantar, ia berharap bisnisnya ini berumur panjang dan semakin berkembang. Yudi sadar bahwa keberhasilannya adalah buah dari kerja keras dan kesungguhannya mencapai cita-cita.
“Ini semua bukan hasil dari apa yang saya rendanakan, melainkan dari apa yang saya selesaikan,” katanya berfilosofi. “Butuh sesuatu yang sulit untuk mendapatkan yang mudah,” ucapnya penuh rasa syukur.
Sumber : wirasmada.wordpress.com
0 komentar :
Posting Komentar