Kamis, 14 Februari 2013


Selama ini, pohon masih lebih menguntungkan saat sudah berbentuk potongan kayu daripada waktu masih menjadi tumbuhan hidup. Tetapi, perempuan-perempuan di dekat lokasi penimbunan sampah Buffelsdraai, Durban, Afrika Selatan, menjadi bukti bahwa mereka bisa mendapat untung besar justru dengan menumbuhkan pohon.

Lewat program penghutanan kembali dari pemerintah eThekwini atau Durban, para perempuan pengusaha hutan ini menjual bibit-bibit pohon pada pemerintah kota. 

Bayaran yang mereka dapat bukanlah uang, melainkan kupon yang bisa mereka gunakan untuk membeli bahan makanan sehari-hari, perabot rumah tangga, uang sekolah, pakaian, sampai bahan bangunan. 

Program penghutanan kembali ini muncul sebagai usaha menyerap 307 ribu ton jejak karbondioksida dari penyelenggaraan pertandingan Piala Dunia 2010 di kota tersebut. 

Jejak karbondioksida itu adalah akibat emisi dari penerbangan yang digunakan oleh puluhan ribu penonton Piala Dunia, kebanyakan datang dari Eropa, ke Afrika Selatan, lalu kembali ke Eropa. Untuk menyerap emisi karbondioksida tersebut, pohon-pohon pun ditanam.

Sebagai tempat penanaman, Pemerintah Kota eThekwini (Durban) membeli lahan seluas 800 hektar bekas ladang tebu dari seorang pemilik perkebunan tebu. Lahan yang harus ditanami pohon ini sekaligus merupakan zona penyangga antara kota dengan lokasi akhir pembuangan dan penimbunan sampah (landfill site). 

Selain untuk menyerap jejak karbon Piala Dunia 2010, proyek yang sudah dimulai sejak 2008 ini juga dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas air dan memberi lapangan pekerjaan penduduk sekitar.

Setelah lahan dibeli, pemerintah kota mempekerjakan penduduk di sekitar area tersebut untuk menanami kembali kawasan bekas ladang tebu dengan pohon-pohon varietas lokal. Sekitar 80 persen dari penduduk di kawasan Buffelsdraai adalah pengangguran. Maka, proyek pembibitan dan penanaman pohon ini pun kini menjadi pekerjaan utama mereka. 

Para perempuan pengusaha pohon ini mengumpulkan bibit-bibit pohon dari sekitar 200 varietas yang ada di kawasan tersebut. Selanjutnya, bibit-bibit pohon itu dibesarkan menggunakan ember atau plastik. Setelah bibit-bibit ini mencapai ketinggian tertentu, para penanam pohon pun bisa menjualnya ke pemerintah kota.

Jika bibit pohon yang ditumbuhkan oleh para pengusaha pohon ini mencapai tinggi 30 cm, maka bayarannya adalah 5 rand (Rp 5300) per  pohon. Jika pohonnya mencapai tinggi 60 cm, para pengusaha pohon ini akan dibayar Rp 8 ribu rupiah (atau 7,5 rand), dan 10 rand (Rp 10.600) jika pohon yang dijual ke pemerintah kota mencapai ketinggian 1 meter. 

Salah satu perempuan pengusaha ini, Nokuthula Gcabashe, bisa menumbuhkan sampai 2000 pohon per tahun. Dengan skema tersebut, kurang lebih ia bisa memperoleh 1900 rand setiap bulannya (sekitar Rp 2 juta). Tentu ini jumlah yang lumayan daripada saat ia tak memiliki penghasilan. Uang yang didapat Nokuthula dari menumbuhkan pohon, ia gunakan untuk biaya bersekolah.        

Menurut Nokuthula saat ditemui beberapa waktu lalu di Durban, mayoritas pengusaha pohon ini adalah perempuan. Dari 202 orang yang terlibat, hanya 5 pria yang memilih pekerjaan ini. “Dan mereka bukan pekerja keras, hanya bekerja biasa saja,” katanya. Setidaknya dibanding para pengusaha pohon perempuan yang, menurut dia, kebanyakan bekerja sangat keras.

Karena sudah terlibat sejak 2008, Nokuthula kini menjadi fasilitator bagi para pengusaha pohon lainnya. Pada mereka yang ia latih, Nokuthula selalu berpesan, “Dua hal penting di dunia ini, pendidikan dan rumah. Kamu harus bekerja untuk mendapatkan dua hal itu terlebih dahulu sebelum kamu bekerja untuk mendapat makanan.” Menanam pohon buat Nokuthula adalah kesempatannya untuk bisa membiayai pendidikan dan memperbaiki rumah tinggal.

Sementara, Ziningi Gcabashe adalah ‘bintang utama’ proyek ini. Perempuan, menurut Ningi, tertarik ikut pada proyek penanaman ini untuk mendapat uang. “Ketika para pria kami kabur dari rumah, perempuanlah yang harus memberi makan anak-anak. Dari mana dapat uang?”

Ningi adalah salah satu pengusaha pohon angkatan pertama. Awalnya, hanya 20 penanam bibit pohon yang terlibat. “Kami hanya diberi tahu bahwa dengan menanam pohon, kami bisa membeli makanan. Awalnya orang-orang tidak percaya, tapi ternyata benar.” 

Sebelumnya, orang-orang tidak tahu makanan apa yang bisa mereka sajikan untuk anak-anak di rumah. Sekarang, para perempuan pengusaha pohon ini bisa membiayai anak-anaknya sekolah, bahkan sampai tingkat universitas. 

Setiap orang kemudian bisa menambah jumlah pohon yang akan mereka besarkan sesuai dengan kebutuhan keuangan mereka. “Kebutuhan kamu apa dulu? Sekolah? Bahan bangunan? Baru dari situ kamu bisa menghitung berapa pohon yang bisa kamu tambah untuk bisa memenuhi kebutuhan itu.”

Ningi sendiri bisa membiayai kursus mengemudi dan pembuatan SIM-nya dari usaha menanam pohon, yaitu mencapai 5000 rand (Rp 5,3 juta). “Sebelum proyek ini, saya sama sekali belum pernah menyentuh mobil,” kata Ningi. Dari 2008, saat pertama kali ia menjadi penanam pohon, sampai sekarang, Ningi sudah menjual 15 ribu pohon.  

Direktur Perlindungan Iklim di Unit Pengelolaan Lingkungan dan Perencanaan Kota Pemerintahan Regional Durban Sean O’Donoghue mengatakan proyek penanaman kembali Buffelsdraai dianggap sukses. Kini, proyek ini menjadi percontohan buat skala nasional. “Rencananya, akan diterapkan di wilayah-wilayah lain di Afrika Selatan.”

Hal yang paling menarik dari proyek ini adalah bahwa pemerintahlah yang membeli tanah dari pihak perseorangan untuk kemudian ‘menyerahkannya’ lagi ke masyarakat untuk dikelola. 

Pemerintah memberdayakan masyarakat sekitar yang miskin dan tidak memiliki pemasukan untuk menjadi penanam pohon dengan bayaran yang layak. Masyarakat pun jelas-jelas terdongkrak tingkat kesejahteraan ekonominya. 

Perempuan-perempuan seperti Ziningi dan Nokuthula, yang awalnya ‘hanya’ penanam pohon, bisa menjadi fasilitator dan pelatih hanya dalam jangka waktu tiga tahun. 

Bandingkan dengan pengelolaan hutan-hutan di Indonesia. Meski semua hutan di Indonesia adalah milik pemerintah, hak pengelolaannya justru diberikan pada pengusaha perkebunan skala besar. Jarang sekali penduduk sekitar perkebunan menangguk untung dari usaha yang ada di sekitar rumah mereka. Bukannya untung, yang lebih sering terjadi di Indonesia malah berbagai konflik soal lahan. 

Para perempuan pengusaha pohon di Buffelsdraai, Durban ini menjadi bukti bahwa ada sebuah model ekonomi yang memungkinkan negara berpihak pada kesejahteraan rakyat kecil. Bukan hanya untuk kesejahteraan pengusaha skala besar saja. 

Sumber : google.co.id

0 komentar :

Posting Komentar