Senin, 25 Februari 2013


Sudah 20 tahun Ade Suherman, peraji kayu olahan di Kota Tasikmalaya menggeluti  produksi kerajinan seperi boneka, furniture, lantai  rumah hingga meubeler.

Kunci supaya usaha langgeng, kata Ade, kreativitas serta inovasi. Kreativitas sangat ditekankan karena kerajinan mengandalkan keahlian tangan para pekerja.

Mesin-mesin hanya berupa alat tambahan yang tidak dengan sendirinya mampu menciptakan karya yang layak jual. Sedangkan inovasi menyangkut kebaruan sebuah produk. Setiap waktu trend produk berubah, demikian juga kesukaan pasar cenderung fluktuatif.

Dalam membuat boneka misalnya, Ade yang membuka workshop di Jalan Leuwianyar, Kelurahan Sukamanah Kecamatan Cipedes tersebut, selalu membuat tiruan boneka. Mulai boneka ondel-ondel khas Betawi, hingga boneka Angry Bird kesukaan anak-anak. Bonek tersebut kemudian ditawarkan kesejumlah pemasok juga dipajang di berbagai pameran kerajinan.

Sudah ratusan boneka yang dia bikin. Bukan saja boneka masa kini, boneka pisang, boneka   buah jambu, buah manggis, cabai atau sayuran selalu ia buat.

Kini pasar utama pasokan boneka produknya hanya Jakarta, yakni boneka ondel-ondel.  Setiap bulan ia memasok sedikitnya 250 pasang ondel-ondel dengan harga mulai Rp 250.000 per pasang hingga Rp 2,4 juta.

Masa kejayaan usaha boneka kayu dialami Ade antara tahun 2000-2008 Kala itu dia mendapat permintaan rutin dari California melalui seorang buyer. Harga satu boneka kecil dihargai US$ 4,5 atau sekitar Rp 45.000.

“Untuk pesanan ke California boneka selalu berdasarakan musim. Misalnya, bulan Februari-Maret boneka sayuran, Mei-Juni boneka  buah-buahan, Oktober boneka halowen dan akhir tahun boneka terkait perayaan natal,” kata Ade belum lama ini.

Ungkanya, tertinggi permintaan saat itu mencapai 2500 item. Namun kendalanya, bila terlalu digonjot produksi, kualitas produk seringkali menurun, karena terkait kornsentrasi pekerja serta masa pengerjaan yang pendek.

Permintan dari luar negeri kini sudah terhenti. Adepun mengandalkan order dari para perajin lain untuk pasokan dalam negeri.  Misalnya dari perajin anyaman di sentra kerajinan Rajapolah. Ade membuat traft atau baki triplek atau dari kayu sedangkan lapisan anyaman dikerjakan di Rajapolah.

Kini Ade juga sedang mengerjakan box tissue untuk pesanan di Jakarta. Ia juga mengerjakan alas lantai kayu. Harga boks tissue satu set mencapai Rp 160.000 dan untuk lantai kayu per meter Rp 180.000-Rp 400.000/meter persegi tergantung bahan kayu.

Selain sebagai perajin, Ade pun tak jarang diundang mengisi pelatihan atau seminar kerajinan mengolah kayu. Bukan saja di Tasikmalaya tetapi ke luar kota.

Kesulitan mengolah kayu kata Ade, selaian mesti berinovasi dan kreatifitas juga melatih keterempilan sumber daya manusia atau para pekerja. Pasalnya, sekokah yang langsung mengeluarkan lulusan ahli dibidang pembuatan kerajinan kayu belum ada. Lulusan kerajinan atu seni harus belajar terlebih dahulu sehingga mereka mahir mengolah kayu menjadi barang yang bernilai tinggi.

Sementara, untuk bahan baku kata  Ade relative gampang. Terkadang dia memanfaatkan kayu bekas para tukang meubel untuk dijadikan boneka. Meski bila produksi sekala besar, ia tidak bisa mengandalkan limbah karena menyangkut kualitas serta ketersesdiaan bahan. “Kami bukan mengolah kayu secara besar-besaran. Hingga saat ini bahan baku kayu sangat mudah didapat,” katanya.

Ia pun kini berusaha menciptakan plasma baru. Para pekerja yang selama ini menjadi buruh dididik untuk mandiri dan hasil produksi ditampung kemudian dijual kepada para pemesan.

Sumber : jpmi.or.id

0 komentar :

Posting Komentar