Kamis, 21 Februari 2013


Bakmi Gajah Mada awalnya hanyalah warung bakmi di pinggir jalan. Kini menjadi salah satu restoran favorit di Jakarta. Kiatnya?

Suasana ramai menjelang makan siang menjadi pemandangan yang biasa terlihat di gerai Bakmi Gajah Mada Jl. Sunda, Jakarta Pusat. Pada pukul 12.00-13.00 pengunjung — sebagian besar karyawan yang berkantor di kawasan Segi Tiga Emas — rela antre untuk menikmati makan siang di restoran itu. Di samping itu, ada juga mahasiswa/i dan juga ibu rumah tangga, yang usai berbelanja di pusat perbelanjaan Sarinah.

Bila Tjhai Sioe Tjhung masih hidup, mungkin ia merasa bangga melihat usaha yang dirintisnya kini menjadi besar dan lebih modern dibanding dengan apa yang dilakukannya 41 tahun lalu, ketika memulai usahanya di Jalan Gajah Mada 77, Jakarta Barat. Bagi Tjhai, menjadi pedagang bakmi adalah tuntutan sebagai kepala keluarga untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga dan membesarkan kesebelas anaknya. “Saya masih ingat kalau uang belanja keperluan rumah tangga diambilkan dari hasil penjualan bakmi,” kenang Jenny Mokhtar, Direktur PT Griya Miesejati.

Saat itu, ruangan yang digunakan tidak besar, hanya muat untuk empat meja dan paling banyak menampung 15-20 orang. Dapur pun di depan dan masih menggunakan kompor minyak. Setiap hari buka 2-3 jam menjelang makan siang, dan menjelang sore sudah habis. Menu yang ada saat itu hanya bakmi ayam, bakso dan pangsit. “Per harinya paling-paling hanya mampu menjual 100 porsi,” tutur Jenny.

Namun, siapa sangka usaha yang dirintis Tjhai dan istrinya, Loei Kwai Fong, itu akan menjadi makanan favorit di Jakarta? Bungsu dari 11 bersaudara ini pun tidak menduga, bisnis yang dirintis orang tuanya kian hari makin diminati masyarakat. Dengan 7 gerai — semuanya di Jakarta — setiap hari lebih dari 3 ribu orang berkunjung ke Bakmi GM. “Kami masih biasa-biasa saja, belum besar,” ujar Jenny merendah.

Nama Bakmi GM mulai dikenal pada 1962. Dari hari ke hari, jumlah pengunjung terus bertambah. Maka, kata Jenny, ayahnya pun menambah meja makan, dari empat menjadi 10 meja. “Saat ramai umumnya ketika makan siang. Dan menjelang sore, sudah pasti kehabisan,” ujar Ferdy Pattiasina, Presdir PT Griya Mitrarasa –pengelola Bakmi GM Sarinah. Ferdy merupakan satu-satunya eksekutif yang berasal dari luar (keluarga).

Enam tahun kemudian (1968), ketika ada pelebaran Jalan Gajah Mada, rumah-rumah di kasawan itu harus dimundurkan sekitar 10 meter. Karena ada pembongkaran jalan dan mobil pun susah lewat, akhirnya Bakmi GM sempat tutup sekitar setahun, dan kemudian pindah di Jalan Kejayaan, Jak-Bar. Setelah pelebaran jalan selesai pada akhir 1969, Bakmi GM kembali ke tempatnya semula. Banyak perubahan yang terjadi, misalnya ruangnya lebih besar dengan kapasitas 30 meja dan juga ber-AC.

Dari situlah terasa ada pengembangan, meskipun tidak terkonsep. Pada 1971, karena pelanggannya banyak dari wilayah Jakarta Selatan, banyak yang meminta agar Bakmi GM membuka gerai di kawasan itu. Untuk memenuhi keinginan itu, manajemen Griya Miesejati membuka gerai di Melawai. Awalnya, berlokasi di dalam pasar, tetapi kemudian pindah ke Jalan Melawai No.3.

Menurut Jenny, saat itu permintaan di Melawai tidak seramai seperti di Jalan Gajah Mada. “Saya anggap hal itu wajar, karena manajemen tidak melakukan promosi. Ini hanya untuk memenuhi permintaan konsumen,” tutur alumni Hospitality Industry Algorquen Ottawa, Kanada. Karena tahun pertama masih sepi, ada inisiatif dari manajemen untuk menambah menu. Memasuki tahun kedua, restoran tersebut menyediakan bakmi goreng, nasi goreng dan bakmi ayam cah jamur. Dengan jenis makanan beragam, ternyata mampu menyedot pengunjung lebih banyak. Padahal, “Ketika itu kami hanya mengandalkan promosi dari mulut ke mulut,” tambah Jenny.

Sementara itu, jumlah pengunjung Bakmi GM Jalan Gajah Mada 77 terus membanjir dan tak tertampung lagi. Soalnya, resto ini semakin populer. Maka, diputuskan pindah ke Jalan Gajah Mada 92, yang dapat menampung 62 meja. Menunya pun mulai ditambah, selain mi ayam, ada juga bakmi goreng dan nasi goreng. Ternyata rasa bakmi goreng dan nasi gorengnya pun sesuai dengan selera konsumen, sehingga kedua jenis makanan itu juga diminati.

Karena inovasi dan kreativitas dalam menyediakan menu makanan, jumlah pengunjung pun terus bertambah. Saat itu, rata-rata pengunjung Bakmi GM di Jalan Gajah Mada mencapai 500 orang/hari. Sementara di Melawai, yang semula 200 orang, dari hari ke hari keadaannya terus membaik.

Kesuksesan di dua gerai itu mendorong manajemen Bakmi GM berekspansi. Pada 1986 didirikanlah gerai ketiga, berlokasi di gedung bioskop 21 di Jalan M.H. Thamrin (sekarang Gedung BII). “Kebetulan saat itu Pak Dwi (Sudwikatmono, pemilik jaringan bioskop 21 — Red.) menawari kami membuka restoran di gedung tersebut,” tutur Jenny. Ia berani membuka gerai di tempat itu karena lokasinya bagus, meskipun biaya sewanya cukup tinggi. Kemudian, melalui PT Griya multirasa, pada 1989 dibuka gerai Bakmi GM keempat di di Mal Pondok Indah.

Gerai di Jalan Thamrin memang hanya berumur 6 tahun. Namun, itu bukan karena sepi pengunjung, melainkan karena gedung bioskop dibongkar dan dijadikan gedung perkantoran. Untuk melayani pelanggan yang biasa berkunjung ke sana, Bakmi GM memindahkan gerainya ke Jalan Sunda dengan kapasitas 85-90 meja. Gerai ini dikelola Griya Mitrarasa dan didirikan dengan modal setor Rp 200 juta. Pemegang sahamnya, selain Ferdy, juga Lie Kay Hoat, Peily Dian Lie, Wahyu Suryadi, Kristin Nina Sastra dan Rachman Sastra.

Tahun 1990-an Bakmi GM terhitung agresif menambah gerai. Melalui PT Graha Makmurindo Bogatama, membuka gerai di Mangga Dua (1992). Modal yang disetor Rp 60 juta dan dimiliki Lie Tjik An, Lie Fiona Limurti, Lie Kok Khian dan Lie Soei Khoen. Lantas pada 1996 Griya Miesejati menambah gerai lagi di Kelapa Gading. Sementara itu, pada 1997 melalui PT Griya Murnirasa membangun gerai di Mal Puri Indah. Sehingga, Bakmi GM pun siap melayani pelanggannya melalui 7 gerainya di berbagai penjuru Jakarta.

Menurut Jenny, ekspansi itu bukan karena Bakmi GM berambisi, tetapi karena permintaan konsumen dan pengelola mal. Soalnya, gerai Bakmi GM diharapkan dapat menarik pengunjung ke mal tersebut. Dan secara kebetulan mal itu ada di Jak-Sel, sesuai dengan rencana pengembangan Bakmi GM. “Kami hanya ingin mendekatkan diri dengan konsumen,” tuturnya.

Adakah kompetitor yang patut diperhitungkan? Menurut Jenny, semua resto adalah pesaing. Pasalnya, munculnya banyak resto yang menyajikan berbagai jenis makanan, memberikan banyak pilihan bagi konsumen. Namun, katanya, khusus untuk mi, Bakmi GM agak beda, terutama dalam hal kebersihan, layanan dan kenyamanan.

Dalam kecepatan layanan, Bakmi GM berusaha mempertahankan standar yang ditetapkan. “Meski dalam kondisi ramai, konsumen hanya menunggu 8-15 menit,” tegas Jenny. Ferdy menambahkan, Bakmi GM masih lebih cepat dibanding pemain lainnya dan dapat melayani porsi besar dengan kualitas standar. Namun, itu sebetulnya juga tergantung pada jenis makanan yang dipesan konsumen. Jika mereka menginginkan nasi goreng, bakmi jamur atau cap cay, pesanan bisa lebih lama sampai ke meja mereka. Yang jelas, “Kami tetap konsisten mempertahankan standar kualitas,” tandas Jenny.

Kelebihan Bakmi GM lainnya, kata Ferdy, selalu konsisten terhadap rasa. Meski harus melayani banyak order, bisa mempertahankan standar rasanya. Itu pula yang menyebabkan Hadi Soesastro, Direktur Eksekutif CSIS, jadi salah satu pelanggan loyal sejak 1970. “Sejak masih bujang, saya sudah menjadi pelanggan. Waktu itu harga bakmi Rp 250/porsi,” katanya sambil menyantap nasi goreng plus pangsit goreng. Alasan menjadi pelanggan loyal? “Terus terang Bakmi GM selalu menjaga standar rasa, harga terjangkau dan servisnya pun bagus,” tutur Hadi tanpa bermaksud mempromosikan resto langganannya itu. Dalam hal ini, ia menambahkan, antara gerai yang satu dengan yang lainnya tidak ada perbedaan. Tak hanya bakmi makanan favorit Hadi di Bakmi GM, tapi juga nasi goreng.

A.B Susanto, Mitra Pengelola The Jakarta Consulting Grup, pun memberikan acungan jempol kepada Bakmi GM. Menurutnya, resto itu memiliki dua keunggulan. Pertama, kemauan memberikan pelayanan yang lebih baik dan terus-menerus berusaha meningkatkan kualitas layanan. Itu pula, barangkali, yang membuat Bakmi GM tidak berekspansi hingga ke luar Jakarta. Sebetulnya, tambah pengamat manajemen itu, kalau mau memberbanyak gerai, itu bisa dilakukan. Namun, jika belum yakin bisa memberikan pelayanan yang baik, “Sebaiknya memang tidak terlalu berambisi berekspansi.” Kedua, ditanamkannya semangat usaha sebagai perusahaan world class company, meskipun hanya di Jakarta. Dan prinsip ini sudah ditanamkan pada seluruh level karyawan di perusahaan itu.

Hanya saja, tak semua gerai Bakmi GM berjalan sesuai dengan harapan. Gerai di Mal Puri Indah, misalnya, tahun pertama rugi hampir Rp 100 juta. Namun, pada tahun kedua mencetak untung sekitar Rp 35 juta. “Bagi kami ini tanda-tanda maju,” kata Jenny. Gerai di Mangga Dua pun tergolong lokasi yang salah. Betul, gerai itu sempat menghasilkan untung, tapi tidak seperti yang diharapkan. Berapa sih targetnya? “Kami tidak menargetkan harus mencapai angka tertentu. Yang jelas, dalam waktu tiga tahun harus balik modal,” tandasnya. Kenyataannya, hal itu baru dicapai pada tahun kelima. Celakanga, begitu kembali modal, terjadi krisis ekonomi dan kerusuhan.

Yang membuat rugi, kata Jenny, adalah kerusuhan. Soalnya, orang tidak berani pergi ke mal, yang mengakibatkan pengunjung Mangga Dua sepi. Maka, pada 1998 gerai tersebut rugi. Jumlahnya? Dia enggan menyebut angkanya. Untuk menghindari kerugian yang lebih besar, dilakukannlah beberapa langkah efisiensi. Misalnya, memindahkan sebagian karyawan ke gerai lainnya dan jam tutup lebih awal sehingga menghemat listrik dan gas. “Cara itu ternyata banyak membantu.”

Ke depan, tampaknya Bakmi GM masih akan membatasi ekspansinya. “Dalam benak kami, sampai saat ini belum terpikir melakukan ekspansi. Yang kami pikirkan, bagaimana mempertahankan yang ada dan meningkatkan kemampuan SDM. Terus terang, kami kesulitan dalam SDM,” tutur Jenny. Terlebih, pembukaan gerai baru sekarang juga membutuhkan dana yang tidak kecil. Sebelum krisis, untuk membuat gerai sekelas di Mal Puri Indah diperlukan dana sekitar Rp 700 juta. Saat ini, bisa membengkak hingga Rp 2 miliar karena harga berbagai peralatan untuk mengoperasikan resto naik rata-rata 3 kali lipat. Dan investasi sebesar itu hanya untuk membeli peralatan dan biaya SDM, belum termasuk sewa gedung.

Menurut Jenny, sebetulnya ada pengelola mal lain yang memintanya membuka gerai Bakmi GM, misalnya Plaza Senayan dan Mal Ciputra. Namun, “SDM kami tidak siap,” ungkapnya. Ia meminta diberi waktu setahun agar pembukaan gerai itu bisa dipersiapkan secara matang. Sayangnya, pihak pengelola pusat belanja itu hanya memberi waktu 6 bulan. “Itu sangat sulit bagi kami,” ujarnya. Tentu, peluang itu bisa diisi para pesaingnya. Namun, manajemen Bakmi GM tampaknya lebih memilih tidak menambah gerai secara tergesa-gesa. Sebab, mereka khawatir pengelolaannya berantakan.

Dari 7 gerai yang ada sekarang, ungkap Jenny, 5 di antaranya cukup baik prestasinya. Adapun gerai di Puri Mal dan Mangga Dua belum sesuai harapan. Kontribusi pendapatan masing-masing gerai yang berjalan baik pun tak jauh beda. Soalnya, masing-masing gerai mempunyai karakteritisk sendiri. Gerai di Jalan Sunda misalnya, ciri khasnya: sangat ramai pada saat makan siang. Sementara pengunjung di gerai Mal Pondok Indah lebih merata –tidak terjadi tumpukan pengunjung pada saat-saat tertentu. Namun, yang jelas, tiga gerai (Gajah Mada, Jalan Sunda dan Mal Pondok Indah) bisa memberikan kontribusi 50%-60%.

Sayang, manajemen Bakmi GM tak mau menyebutkan omsetnya. “Itu rahasia. Nanti orang kaget kalau dengar jumlahnya. Yang jelas, cukup lumayan,” Ferdy berkilah. Menurut perhitungan SWA, untuk gerai di Mal Pondok Indah, rata-rata ada seribu pengunjung/hari dan masing-masing membelanjakan Rp 20 ribu. Artinya, omset gerai tersebut mencapai Rp 20 juta/hari atau Rp 600 juta/bulan. Belum lagi pendapatan dari 6 gerai lainnya. 

Dalam pengamatan Roy Goni, pemerhati pemasaran, dengan memiliki 7 gerai, Bakmi GM menjadi perusahaan yang sangat profitable. Ekspansi akan berimplikasi terhadap model bisnis yang dianut selama ini. Sebab, manajemen Bakmi GM harus bisa melakukan standardisasi ramuan. “Kekuatan Bakmi GM memang terletak pada ramuan menunya. Ini menjadi kendala dalam berekspansi, dan pertumbuhannya pun terbatas,” katanya. Namun, dengan pertumbuhan (gerai) yang terbatas itu, resto bakmi itu dapat menjaga eksklusivitasnya. Terlebih, semua gerainya berlokasi di Jakarta.

Selama ini Bakmi GM berupaya membuat standardisasi ramuan menu maupun layanan. Sehingga, di gerai manapun, konsumen tetap puas. “Bakmi GM mampu menyajikan servis yang excellent, mampu menjaga konsistensi makanannya,” puji Roy, pelanggan sejak 1980. “Service people-nya pun bagus karena mereka bisa mengatur keluar-masuk tamu lebih cepat,” tambahnya.

Sampai generasi kedua, pengelolaan Bakmi GM masih didominasi keluarga. Anak-anak Tjhai yang terlibat aktif: Yulia Widjaja, Sukendi Widjaja, Peily, Marsudi Singgih, Lie Kay Hoat, Lie Gun Fat dan Jenny. Mereka bahu-membahu mengelola bisnis keluarga itu. Yulia, misalnya, meski sebenarnya lebih berkosentrasi menangani Gerai Melawai, terkadang ikut mengawasi gerai yang lain. Kemudian Peily, selain banyak menangani kantor pusat, iklan dan promosi, juga menangani gerai-gerai. Adapun Marsudi lebih banyak menangani gerai di Jalan Gajah Mada. 

Akankah manajemen Bakmi GM diserahkan kepada profesional dari luar keluarga? Menurut Susanto, yang juga konsultan Bakmi GM, ke depan arahnya akan ke sana. “Kalau diserahkan ke profesional, saya yakin larinya akan lebih cepat,” tandasnya. Ia menambahkan, mungkin setelah 2-3 tahun mendatang, manajemen resto ini sudah akan dipegang oleh profesional. Pemilik Bakmi GM perlu melakukan persiapan secara matang, terutama dalam menanamkan budaya kerja yang baik di lingkungan perusahaan.

Jenny menambahkan, sebetulnya pihak keluarga ingin secepatnya mempercayakan pengelolaan Bakmi GM kepada profesional. Apalagi, beberapa orang dari generasi kedua sejak tiga tahun lalu berniat mengundurkan diri. Sementara itu, anggota keluarga generasi ketiga tidak ada yang mau mengelola. Namun, karena merasa SDM-nya belum siap, “Terpaksa kami masih harus mengelola bersama,” jelasnya.

Kini manajemen Bakmi GM sedang melakukan konsolidasi, terutama membenahi SDM. “Kalau SDM-nya sudah kuat, sebagai pemilik kami akan mundur,” tutur Jenny. Untuk itu, manajemen sedang menjaring tenaga-tenaga muda yang akan dilatih menjadi SDM andal, dapat bekerja dalam sistem yang solid sesuai dengan standar manajemen operasional. Ini bukan pekerjaan mudah. Soalnya, jenis makanan yang dijajakan Bakmi GM kini semakin banyak dan kompleks. Lebih dari 30 menu makanan ditawarkan, dengan harga Rp 6.300-16.000. Bakmi, misalnya, ada 14 pilihan. Ada juga makanan favorit lain, seperti nasi goreng, pangsit goreng dan nasi daging sapi cah cabai. Nah, “Kami ingin agar kualitas menu makanan dan layanan tetap terjaga baik, meski manajemen pindah ke tangan profesional. Karena, kepuasan pelanggan menjadi prioritas Bakmi GM,” tegas Jenny.

Sumber : finance.dir.groups.yahoo.com

0 komentar :

Posting Komentar