Jumat, 01 Maret 2013

berkumandang, kesibukan tampak di Warung Tegal (Warteg) Poncol di Jalan Imam Bonjol, Semarang. Warteg yang berada persis di depan SPBU Poncol itu penuh pelanggan yang ingin berbuka puasa. Dengan sabar, Ny Arlina Widiastuti (35) dan tiga pembantunya meladeni pesanan para pelanggan. Beberapa waktu kemudian, saat semua pengunjung telah menyantap hidangan dengan lahap, mereka baru bisa bernapas lega.

"Saat-saat seperti ini pada bulan Ramadan, memang merupakan jam sibuk. Waktu sahur nanti pun demikian, apalagi menjelang imsak," tutur Suharto (40), pemilik warteg yang juga suami Arlina.
Menilik penampilannya yang bersahaja, orang tak bakal menduga Suharto merupakan pengusaha warteg sukses. Pria kekar itu kini punya empat warung serupa di Semarang. Selain di Poncol, warteg miliknya itu berada di Wonodri Baru, Sadewo, dan Sampangan. Usaha warung nasi khas Tegal yang dia kembangkan itu mampu menyerap puluhan tenaga kerja.

Hebatnya, sarjana ekonomi jebolan salah satu PTS di Yogyakarta itu mengaku tak sendirian dalam mengelola warteg di Kota Lumpia ini. Menurut dia, seluruh saudaranya juga menjadi pengusaha warteg. Jika dihitung, jaringan bisnis keluarga itu memiliki 28 warung di Semarang.
"Saya anak kedua dari sembilan bersaudara. Kami semua mengadu nasib dan peruntungan dengan mengelola warteg di sini. Termasuk, adik saya yang insinyur sipil, sarjana hukum, dan dokter," tutur dia. 

Keluarga Suharto itu berasal dari Sumurpanggang, Kecamatan Margadana, Kota Tegal. Daerah asal mereka cukup terkenal sebagai salah satu perkampungan pengusaha warteg perantauan seperti halnya Desa Sidapurna dan Sidakaton di Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal. Suharto sebelumnya tak pernah mengelola warteg. 

Usaha Keluarga
Selepas kuliah, dia meneruskan industri rumah tangga pembuatan kerupuk udang milik keluarga. Namun sayang, usaha yang dia bina dengan susah payah itu jatuh dan tak bisa bertahan. Dia pun berniat mengikuti jejak adik-adiknya yang lebih dulu menjadi pengusaha warteg. 

Semula, anak-anak pasangan H Rais dan Hj Syarifah itu membuka warteg di Jakarta. Namun persaingan yang ketat dan biaya operasional tinggi, membuat mereka memutuskan untuk hijrah ke Semarang. Perpindahan lahan usaha itu dirintis anak ketiga, Supratwo dan anak kelima, Wartono. 

"Kami betul-betul meniatkan diri untuk sepenuh hati. Sebab di Tegal ada keyakinan umum yang hampir-hampir menjadi hukum tak tertulis. Jika mau menuntut ilmu harus pergi ke timur, yakni ke Semarang atau Yogyakarta. Sebaliknya, kalau mau mencari rezeki harus berjalan ke barat, yaitu ke Jakarta," ungkap Suharto. 

Jika sekali waktu melihat warteg dengan nama Aero, itulah salah satu warung keluarga Suharto. Aero merupakan singkatan dari ungkapan bernas "arep enak kudu rekasa (ingin mulia harus bekerja keras)." Tak hanya Aero, beberapa nama lain juga digunakan seperti Atania.
Namun warung milik Suharto, diberi nama sesuai dengan daerah operasi. Salah satunya ya Warteg Poncol. "Pelanggan biar mudah mengingatnya," tutur dia. 

Ciri khas warteg keluarga Suharto itu adalah buka 24 jam sehari, alias tak pernah tutup. Berbeda dari warteg lain yang biasanya bercat biru dengan jendela kayu, warung keluarga Suharto didominasi warna merah dan berjendela kaca. Kesan kumuh yang biasanya melekat terhadap warteg, sama sekali tak terlihat. Warteg Poncol misalnya, tampak bersih dengan ruang yang cukup luas dan berlantai keramik.

Berapa omzet yang didapat setiap bulan dari setiap warteg? Suharto tak tahu pasti. Dia hanya menyebut Rp 60 juta. Setiap hari, dia perkirakan pengeluaran untuk belanja per warung Rp 1 juta-Rp 1,5 juta.

"Saya bersyukur atas rezeki yang diberikan-Nya kepada kami sekeluarga. Sekarang mungkin hasilnya terlihat gemilang. Padahal untuk memulainya, betul-betul dari nol bahkan minus," 
sumber :  blogspot.com

0 komentar :

Posting Komentar