Orang yang biasa melintasi Jalan Arteri Permata Hijau, Jakarta Selatan, kemungkinan besar pernah melihat sebuah kedai ikan bakar penuh asap yang ramai oleh pembeli. Itulah kedai ikan bakar milik Sutarjo. Setiap hari, ratusan orang menyantap aneka ikan bakar yang lokasinya tak jauh dari rel kereta api jurusan Serpong dan Rangkas Bitung itu.
Tak ada kesan mewah pada warung ikan bakar Tarjo ini. Tak heran, pembeli yang bertandang di sana cukup beragam, mulai kalangan bermobil sampai pejalan kaki. Saking larisnya, setiap hari Sutarjo mesti menyiapkan 2 sampai 4 kuintal ikan beragam jenis yang ia kulak di Muara Angke.
Bahkan, saat hari libur, Sutarjo harus menyediakan 5 kuintal ikan. Bisa dibayangkan berapa besar omzet yang dia terima mengingat harga seafood di Jakarta terbilang lumayan.
Kesuksesan yang kini menempel pada sosok Sutarjo tidak runtuh dari langit. Butuh waktu bertahun-tahun baginya sebelum bisa menikmati keberhasilan ini. Sejak kecil, Sutarjo sudah akrab dengan kerja keras. Keindahan kampung nelayan kelahirannya di Tulakan yang asri dengan bukit-bukit kapur mengitari pantai jernih tak memberikan banyak rezeki buat Sutarjo dan keluarganya.
Tempat tinggal yang dekat lautan itu memaksa Sutarjo akrab dengan dunia ikan. Lelaki berusia 41 tahun yang hanya berijazah SMP ini sangat akrab dengan beragam jenis ikan. “Selama di Pacitan, saya juga sering melaut,” kenang dia.
Sutarjo juga memanfaatkan secuil ladang milik orangtuanya untuk berkebun. “Saya juga menanam pohon kelapa. Kini hasilnya sudah bisa dinikmati orang tua di kampung,” tutur pria berkulit sawo matang ini.
Namun, ketenangan hidup di desa tak memuaskan dahaga Sutarjo remaja akan berbagai pengalaman. Alhasil, pada 1986, anak kelima dari tujuh bersaudara ini nekat merantau ke Jakarta. Bermodalkan Rp 15.000, Sutarjo tiba di Jakarta tanpa tahu mau bekerja apa. Hingga suatu ketika, seseorang menawarinya bekerja sebagai cleaning service. Namun, Sutarjo muda tak betah bekerja di bidang itu. Baru empat bulan, dia sudah mengundurkan diri.
Kemudian, Sutarjo mencoba pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di Sunter, Jakarta Utara. Namun, setelah lima bulan bertahan dan bosan, ia balik lagi menjadi cleaning service di sebuah perusahaan hingga akhirnya berhenti lagi.
Pekerjaan sebagai kuli bangunan juga pernah ia lakoni meski tak punya bekal kemampuan soal bangunan. “Per hari saya digaji Rp 2.500. Santapan sebatang singkong dan segelas bajigur saya bagi dua dengan kakak,” tutur Sutarjo.
Lagi-lagi karena tak betah, Sutarjo banting setir menjadi pedagang sayur keliling. “Jadi, pagi saya dagang sayur, dan siang hari jualan minuman ringan. Kalau malam buka warung makan dan menjual rokok,” ujar suami Triati ini.
Di sinilah titik balik nasib Sutarjo bermula. Pada 1997, Sutarjo, istri, dan seorang anaknya merintis usaha warung makan. Menu utamanya ikan bakar. Alasannya, kebanyakan orang hanya menjual ikan goreng. “Saya punya bumbu ikan bakar khas yang saya dapat di Pacitan,” kata Sutarjo.
Bermodalkan uang Rp 20.000 dan alat bakar dari kaleng bekas kue kering, Sutarjo memulai bisnis warung ikan bakar. Hasilnya, ikan bakar racikan Sutarjo cocok di lidah pengunjung warung. Ia pun makin serius berjualan sehingga keuntungan kian menebal. Dengan tabungan hasil berjualan, Sutarjo membeli tanah seharga Rp 250 juta. Di atas tanah itu, dia mengembangkan usaha lebih lanjut. Buah ketekunan dan keuletan lelaki berkumis tebal ini semakin lebat.
Tengok saja. Ikan bakar dengan bumbu ndeso-nya mampu menyihir penikmat ikan bakar. “Sampai sekarang, pelanggan terus bertambah,” ujar Sutarjo. Alhasil, dalam sebulan, Sutarjo mampu mengantongi omzet Rp 250 juta lewat kedai yang berukuran tak lebih dari 36 meter persegi itu.
Maklum, selain melayani pembeli yang datang langsung, Sutarjo juga melayani pesanan ikan bakar. Hampir setiap hari ratusan ekor ikan bakar ia kirim ke kantor Badan Pemeriksa Keuangan, DPR, Gramedia, Bank Permata, dan lain-lain.
Penghasilan Sutarjo kian bertambah lantaran sejak pertengahan 2008 ia juga beternak tokek dan membantu saudaranya memasarkan rumput laut. “Bisnis tokek sangat menjanjikan. Peminat tokek kebanyakan orang Korea,” kata Sutarjo.
Dari enam ekor tokek berbobot 3 ons sampai 5 ons, Sutarjo biasa mengantongi jutaan rupiah. Padahal, di rumahnya, Sutarjo memiara sekitar 600 tokek berbagai ukuran.
Tak ada kesan mewah pada warung ikan bakar Tarjo ini. Tak heran, pembeli yang bertandang di sana cukup beragam, mulai kalangan bermobil sampai pejalan kaki. Saking larisnya, setiap hari Sutarjo mesti menyiapkan 2 sampai 4 kuintal ikan beragam jenis yang ia kulak di Muara Angke.
Bahkan, saat hari libur, Sutarjo harus menyediakan 5 kuintal ikan. Bisa dibayangkan berapa besar omzet yang dia terima mengingat harga seafood di Jakarta terbilang lumayan.
Kesuksesan yang kini menempel pada sosok Sutarjo tidak runtuh dari langit. Butuh waktu bertahun-tahun baginya sebelum bisa menikmati keberhasilan ini. Sejak kecil, Sutarjo sudah akrab dengan kerja keras. Keindahan kampung nelayan kelahirannya di Tulakan yang asri dengan bukit-bukit kapur mengitari pantai jernih tak memberikan banyak rezeki buat Sutarjo dan keluarganya.
Tempat tinggal yang dekat lautan itu memaksa Sutarjo akrab dengan dunia ikan. Lelaki berusia 41 tahun yang hanya berijazah SMP ini sangat akrab dengan beragam jenis ikan. “Selama di Pacitan, saya juga sering melaut,” kenang dia.
Sutarjo juga memanfaatkan secuil ladang milik orangtuanya untuk berkebun. “Saya juga menanam pohon kelapa. Kini hasilnya sudah bisa dinikmati orang tua di kampung,” tutur pria berkulit sawo matang ini.
Namun, ketenangan hidup di desa tak memuaskan dahaga Sutarjo remaja akan berbagai pengalaman. Alhasil, pada 1986, anak kelima dari tujuh bersaudara ini nekat merantau ke Jakarta. Bermodalkan Rp 15.000, Sutarjo tiba di Jakarta tanpa tahu mau bekerja apa. Hingga suatu ketika, seseorang menawarinya bekerja sebagai cleaning service. Namun, Sutarjo muda tak betah bekerja di bidang itu. Baru empat bulan, dia sudah mengundurkan diri.
Kemudian, Sutarjo mencoba pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di Sunter, Jakarta Utara. Namun, setelah lima bulan bertahan dan bosan, ia balik lagi menjadi cleaning service di sebuah perusahaan hingga akhirnya berhenti lagi.
Pekerjaan sebagai kuli bangunan juga pernah ia lakoni meski tak punya bekal kemampuan soal bangunan. “Per hari saya digaji Rp 2.500. Santapan sebatang singkong dan segelas bajigur saya bagi dua dengan kakak,” tutur Sutarjo.
Lagi-lagi karena tak betah, Sutarjo banting setir menjadi pedagang sayur keliling. “Jadi, pagi saya dagang sayur, dan siang hari jualan minuman ringan. Kalau malam buka warung makan dan menjual rokok,” ujar suami Triati ini.
Di sinilah titik balik nasib Sutarjo bermula. Pada 1997, Sutarjo, istri, dan seorang anaknya merintis usaha warung makan. Menu utamanya ikan bakar. Alasannya, kebanyakan orang hanya menjual ikan goreng. “Saya punya bumbu ikan bakar khas yang saya dapat di Pacitan,” kata Sutarjo.
Bermodalkan uang Rp 20.000 dan alat bakar dari kaleng bekas kue kering, Sutarjo memulai bisnis warung ikan bakar. Hasilnya, ikan bakar racikan Sutarjo cocok di lidah pengunjung warung. Ia pun makin serius berjualan sehingga keuntungan kian menebal. Dengan tabungan hasil berjualan, Sutarjo membeli tanah seharga Rp 250 juta. Di atas tanah itu, dia mengembangkan usaha lebih lanjut. Buah ketekunan dan keuletan lelaki berkumis tebal ini semakin lebat.
Tengok saja. Ikan bakar dengan bumbu ndeso-nya mampu menyihir penikmat ikan bakar. “Sampai sekarang, pelanggan terus bertambah,” ujar Sutarjo. Alhasil, dalam sebulan, Sutarjo mampu mengantongi omzet Rp 250 juta lewat kedai yang berukuran tak lebih dari 36 meter persegi itu.
Maklum, selain melayani pembeli yang datang langsung, Sutarjo juga melayani pesanan ikan bakar. Hampir setiap hari ratusan ekor ikan bakar ia kirim ke kantor Badan Pemeriksa Keuangan, DPR, Gramedia, Bank Permata, dan lain-lain.
Penghasilan Sutarjo kian bertambah lantaran sejak pertengahan 2008 ia juga beternak tokek dan membantu saudaranya memasarkan rumput laut. “Bisnis tokek sangat menjanjikan. Peminat tokek kebanyakan orang Korea,” kata Sutarjo.
Dari enam ekor tokek berbobot 3 ons sampai 5 ons, Sutarjo biasa mengantongi jutaan rupiah. Padahal, di rumahnya, Sutarjo memiara sekitar 600 tokek berbagai ukuran.
Bagi Sutarjo, pengusaha kedai Ikan Bakar Tarjo, pepatah tak kan lari gunung dikejar lebih cocok diplesetkan menjadi tak kan lari rezeki dikejar. Meski menjajal beragam pekerjaan, akhirnya dia berlabuh di bisnis warung ikan bakar. Sebuah sisi kehidupan yang pernah akrab dengannya di masa silam, sewaktu tinggal di Pacitan, Jawa Timur.
Kedai ikan bakar Tarjo memang kesohor. Pejabat hingga artis sering menyambangi warung ini. Wajar jika banyak orang yang berminat bekerja sama dengan Sutarjo, sang empunya warung.
Beberapa orang memang sempat bekerja sama dengan Sutarjo membuka kedai ikan bakar Tarjo. Namun, karena suatu hal, Sutarjo menyetop kerja sama tersebut. Sekarang, selain di Jakarta, kedai ikan bakar Tarjo yang masih bertahan hanya yang berlokasi di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, milik seorang pejabat pemerintah di sana.
Namun, Sutarjo tidak kapok bekerja sama dengan orang lain yang ingin membuka kedai ikan bakar Tarjo. “Tapi sekarang ada beberapa syarat yang harus dipenuhi,” kata Sutarjo.
Salah satunya adalah calon partner harus memiliki niat sungguh-sungguh untuk mengembangkan usaha. “Harus pemilik modal yang tak sekadar mencari keuntungan,” tandas dia.
Menurut Sutarjo, keuntungan pasti datang jika si pemilik kedai menjalankan usaha dengan sungguh-sungguh. “Pembeli banyak dan pendapatan tinggi, baru mikir untung. Jangan langsung mikir untung,” ujar dia.
Tak aneh bila selama ini Sutarjo tak memusingkan pembukuan keuangan, dan membiarkan mengalir begitu saja. “Kalau terlalu diperhitungkan jadi seperti pelit.
sumber : yptrading.co.id
0 komentar :
Posting Komentar