Cerita pemilik warung tegal (warteg) meraih sukses selama merantau di Jakarta memang bukan hal yang baru. Pasalnya, hampir tiap Lebaran mereka pulang ke kampung sembari membawa simbol-simbol kemewahan untuk ukuran desa atau kelurahan seperti mobil mewah dan segepok uang.
Namun, siapa sangka bahwa kesuksesan itu mereka raih dengan keringat dan perjuangan yang panjang. “Ya biasa, orang melihat kami ini berhasil dari sisi usaha, tapi lihat saja 20 tahun lalu, kami hidup untuk makan saja sulitnya minta ampun,” tutur H Karjo (53), warga Kelurahan Kalinyamat Kulon, Margadana, Kota Tegal.
Ya, boleh jadi pandangan sebagian kalangan bahwa pemilik warteg itu dibilang sukses memang tidak semua keliru. Suara Merdeka ketika bertandang ke rumah H Karjo sempat melihat, kendati dari bagian depan tampak sederhana, di garasi rumah terdapat mobil jenis Kijang berjejer. Apalagi, dia kini sedang membangun rumah senilai hampir Rp 1 miliar.
Konon, menurut keterangan saudaranya, H Asmawi Azis yang merupakan tokoh masyarakat setempat, dia kini sedang membangun rumah untuk enam anaknya. Tentu saja rumah yang dibangun mencapai miliaran rupiah. Hal itu juga dikuatkan oleh rencana dia seusai Lebaran ini memenuhi nazarnya menanggap wayang golek dengan dalang terkenal Ki Enthus Susmono.
“Sudah, baru saja, dan itu untuk memenuhi nazarnya karena sudah selesai membangunkan rumah untuk enam anaknya. Jadi, dia merasa tidak memiliki beban lagi,” kata Asmawi. Benarkan demikian? H Karjo yang didampingi istrinya, Hj Siti Fatimah (44), kelihatan tidak ingin melebih-lebihkan. Kendati demikian, dia mengakui kehidupannya sekarang lebih ringan, tidak punya beban yang terlalu berat.
Dengan balutan sarung dan kaus oblong, dia lebih suka berbicara tentang kisah masa lalunya. Seingat dia, kali pertama menapakkan kaki di Jakarta pada tahun 1972 dalam rangka merintis usaha warteg harus dia awali dengan menjadi pedagang asongan.
“Kalau boleh dibilang, banyak dukanya pada saat itu. Apalagi setelah menjadi pedagang asongan, saya ngenger (ikut) di tempat usaha warteg orang lain. Ketika itu, saya hanya dibayar Rp 60.000 per bulan. Bahkan, kadang hanya dibayar jam tangan dan topi laken. Itu saja senangnya minta ampun,” kenang dia.
Hidup merantau itu dia jalani hingga tahun 1985. Dia kemudian banting setir, bersama istrinya mendirikan warteg kecil-kecilan di wilayah Glodok, Jakarta Barat.
“Ya, kami waktu itu biasa tidur menyatu dengan dapur. Bahkan, kalau mau tidur harus mematikan kompor dulu karena lantainya panas. Itu pun warungnya kontrak Rp 60.000 per tahun. Sekarang sampai Rp 9 juta,” ujarnya.
Kondisi tersebut dia jalani dari waktu ke waktu. Suka duka menjadi pengusaha warteg telah cukup untuk menjadi bekal mengembangkan usahanya hingga sekarang. Dengan modal ketekunan, H Karjo kini memiliki tiga warung yang cukup besar, satu di daerah Kemurnian, Jakarta Barat, dua warung di Glodok.
“Ya, alhamdulillah. Berkat karunia Allah, usaha saya sekarang cukup baik. Kadang-kadang artis juga sempat mampir ke warung saya. Misalnya almarhum Taufik Savalas, Mpok Atik, dan Gogon. Yang penting, prinsip kerja yang baik dan halal,” tutur bapak dari enam putra itu. Musim Lebaran bagi H Karjo sekeluarga merupakan waktu yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga di kampung.
sumber : sekolahpengusaha.us
0 komentar :
Posting Komentar